14.6.14

Kisah Tanpa Judul


Siang terasa begitu panas di Pulau Simeulue ini. Angin pun seolah-olah enggan untuk berhembus mengantarkan hawa kesejukkan. Langit bersih tanpa awan. Apalagi mendung yang sudah pergi entah kemana. Ini adalah puncak kemarau selama musim ini. Banyak masyarakat yang jatuh sakit efek dari suhu yang begitu panas. Banyak tanaman-tanaman mengering, layu dan mati jika tidak sering disiram. Namun ada yang seakan-akan tak pernah kering dan mati, yaitu semangat seorang gadis bernama Annisa. Ya, itu adalah aku. Aku  adalah wanita yang masih berusia 18 tahun namun sudah memiliki pejalanan hidup yang begitu rumit. Aku lahir di pulau ini dengan kondisi keluarga yang dapat dikatakan sangat jauh dari kata cukup. Ketika usianya masih 4 tahun, aku dibawa oleh ayah dan ibu pindah ke Takengon untuk mencari usaha yang baru yaitu bertani. Namun ketika aku akan menyelesaikan pendidikanku dibangku SMA, keluargaku kembali ke kota ini dan membuka usaha baru menjadi penjual mie Aceh.
Sejak adanya jejaring sosial, aku sangat suka sekali berinteraksi didunia maya. Apalagi waktu itu aku sudah memiliki telepon genggam yang aku beli dari hasil bekerja menjadi guru kontrak. Sejak aku berkecimpung di dunia maya, aku mendapat banyak sekali pelajaran, mulai dari mengenal berbagai macam karakter manusia sampai cara berteman yang baik dengan bahasa yang intelek. Meskipun banyak hal-hal buruknya juga, seperti para penipu dan situs-situs yang tidak bermoral. Namun aku tahu, mana yang bisa dijadikan panutan dan mana yang tidak. Menurutku, ilmu dan pergaulan itu penting. Agar kita tau perkembangan zaman dan jika sewaktu waktu zaman berubah kita bisa memilih mana yang bisa diikuti mana yang tidak. Bukankah Islam juga mengajarkan kita untuk menuntut ilmu, supaya kita hidup tidak di bodoh-bodohi? Begitulah cita-citaku, aku ingin menjadi seseorang yang sukses dimasa depan, entah itu kapan. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku pernah ada dan pernah tercipta. Aku juga ingin menjadi seorang penulis yang tulisannya bisa dibaca oleh siapa saja. Bahkan mungkin dibaca oleh bapak presiden.  Wah, mimpi yang tinggi yaa.? Tetapi kenyataannya saat ini adalah,,,aku sedang duduk didepan kelas dengan anak-anak yang kacau balau. Ada yang lagi mencoret-coret buku. Ada yang sedang menarik kerudung temannya. Ada juga yang lagi mengetuk-ngetuk meja seperti drummer profesional .
“Anak-anak, jangan berisik. Ibu gak bisa menjelaskan, ibu pusing anak-anak. Sudah sudah.. diam “
Aku berusaha untuk menenangkan suasana kelas yang sudah tak terkendalikan lagi. Bayangkan saja, 45 siswa dalam satu kelas, bukan muatan yang baik untuk sebuah pendidikan sebenarnya. Apalagi gurunya adalah gadis semudaku. Meskipun bukan anak SMA lagi, tetapi aku baru saja lulus dari bangku SMA, dan juga ukuran badanku yang bisa dibilang imut-imut kecil sangat mendukung sehingga murid-muridku tidak takut.
 Aku mengajar karena tidak ada keinginan untuk menyambung kuliah dulu, dan daripada hanya makan tidur saja dirumah, akhirnya aku memilih untuk menjadi guru kontrak sementara yang di kontrak selama 6 bulan. Gajinya pastinya tidak sebesar gaji guru yang sudah PNS, tetapi karena ingin mencari pengalaman saja aku pun mencobanya. Apalagi kalau dari segi pribadi, aku sebenarnya adalah sosok wanita yang sangat suka dengan anak-anak. Entah mengapa setiap kali dekat dengan anak-anak kecil atau ketika berinteraksi dengan mereka, ada ketenangan tersendiri. Dengan nakalnya mereka, dengan ocehan mereka yang apa adanya. Mereka sangat polos dan lugu. Tak peduli apapun yang terjadi. Bahkan dana untuk membangun sekolah mereka di korupsi oleh pejabat negara saja mereka tak bisa memberontak.
Aku menulis dipapan tulis huruf hijaiyah karena memang tugasnya disekolah ini adalah menjadi gunu TBA yaitu tulis baca Al-qur’an, namun juga ada pelajaran tambahan dari sekolah yaitu menjadi guru budi pekerti. Menjadi guru budi pekerti, mengajarkan kepada anak-anak bagaimana seharusnya kita bersikap. Akhlak yang baik hanya akan hadir ketika kita sudah tahu etika dan tata karma yang baik. Betapa banyak anak-anak zaman sekarang ini yang moral serta etikanya jauh dari sewajarnya. Contohnya saja, banyak pelajar-pelajar SMP yang sudah tidak perawan, terjebak dalam kecanduan drugs, tauran dan dunia malam. Tak sedikit juga yang bisa membunuh hanya hal-hal sepele, seperti masalah asmara, cemburu buta atau kecemburuan sosial.
Dulu ketika aku masih duduk dibangku SMA, aku melihat ada banyak sekali masalah remaja. Namun aku bersyukur karena Tuhan sudah  menjagaku  hingga aku bisa melewati masa-masa SMA itu yang katanya masa-masa paling indah dengan sewajarnya tanpa ada masalah yang bisa membuatku menyesal dikemudian hari. Banyak diantara teman-temanku yang gagal ditengah jalan. Ada yang dipenjara karena ketahuan menggunakan barang-barang terlarang. Ada juga yang menikah pada saat akan UN karena sudah hamil terlebih dahulu. Semua itu berawal dari pergaulan yang terlalu bebas. Gaul bagi mereka sudah disalah artikan, padahal gaul itu harusnya membuat seseorang jauh lebih luas wawasannya dan menjadikan seseorang itu jauh lebih cerdas dalam hidup. Bukan gaul yang mencoba segala hal. Tahu bukan berarti mau kan?
Memang dulu ketika aku masih duduk dibangku SMA, aku hanya tinggal didaerah yang jauh dari perkotaan. Aku tinggal disebuah desa dimana semua penduduk pekerjaan mayoritasnya adalah berkebun, termasuk ayahku. Ayahku sangat hobi dalam menanam cabai dan tomat. Meskipun tanah yang kami pakai adalah tanah miliki pemerintah, yang artinya kapan saja bisa digusur. Ya, kami memang tidak punya tempat tinggal yang tetap. Suka berpindah pindah mencari tempat atau tanah yang belum dipakai oleh pemerintah. Ayahku membangun sebuah rumah kecil ditengah tengah lahan dengan taman bunga sederhana. Disanalah aku dan ibu menanam berbagai macam bunga dan sayuran. Ada mawar, melati, anggrek dan banyak lainnya. Sayur-sayuran seperti kacang panjang, saledri dan wartel. Semua terasa indah dan aku sangat bahagia. Walaupun hidup dibawah garis kemiskinan, namun aku masih bersyukur memiliki keluarga yang utuh. Siapapun akan bahagia jika berada dipelukkan kedua orang tuanya sekalipun dalam keadaan perut yang lapar.
Namun ada satu kejadian yang tidak bisa aku lupakan. Kejadian itu terjadi saat aku masih berusia 15 tahun. Hari dimana ayah dan kakak laki-lakiku pulang kekampung untuk mencari uang guna membiayai kakak pertanmaku yang tengah menjalani kuliahnya di Banda Aceh. Aku dan ibu yang saat itu hanya tinggal berdua dalam kondisis Ibu yang baru saja melahirkan adik keduaku. Pada  hari itu didatangi dua orang pemuda yang tak dikenal.
“ Maaf dek, bapaknya ada ?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Ayah saya sedang dikampung Pak. Ada apa ya Pak ?”Jawabku.
“Kalau Ibunya ada tidak ?” Tanya seorangnya lagi.
“Ada Pak, tapi Ibu saya sedang sakit. Bapak boleh sampaikan sama saya saja.” Tawarku.
Kedua orang itu menatapku. Aku heran, apa yang sebenarnya hendak mereka sampaikan? Mengapa mereka melihatku seperti itu. Salah seorang dari mereka melanjutkan pembicaraan.
“Begini Nak, 3 hari lagi tanah ini harus dikosongkan karena Meteri Pemberdayaan Wanita akan hadir, untuk meresmikan pembangunan gedung Pemberdayaan Wanita yang baru dibangun di ujung sana.” Laki-laki itu menunjuk kearah ujung jalan.
Aku sangat terkejut. 3 hari? Cuma tiga hari? Apa yang bisa aku lakukan dalam waktu tiga hari itu Tuhan, sedangkan ayah tidak ada bersama kami saat itu. Ibu juga masih sakit, tengah malam saja dia yang harus bangun untuk membuat susu untuk adikku karena ibu terus merintih kesakitan. Seketika juga aku merasa hidup seakan berakhir dan langit runtuh menimpaku. Ya, aku yang hanya seorang gadis berusia 16 tahun, tetapi harus menghadapi masalah sedemikian peliknya. Diam-diam tanpa diketetahui oleh ibu, aku menangis sendiri di dapur sembari memasak nasi. Sambil sekali-kali menium bara agar api menyala dan bisa membakar kayu yang padam.    
Saat itu aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tetapi aku tak mau menyerah begitu saja. Aku mencari cara bagaimana caranya agar penggusuran itu tidak dilakukan dalam waktu tiga hari. Bukan hanya karena ayah tak ada bersama kami saat itu, namun karena tanaman kebun kami juga akan segera dipanen, tinggal menunggu beberapa hari lagi. Sangat tidak adil rasanya hanya karna Menteri Pemberdayaan Wanita datang, kami yang sebagai rakyat kecil harus menanggung rugi yang sedemikian banyak. Tak diberi kesempatan untuk memanen hasil kebun terlebih dahulu.
            Akhirnya aku mempunya inisiatif dengan berniat mendatangi balai desa untuk minta agar lahan bagian rumahku tidak digusur, karena Mentri Pemberdayaan Wanita itu hanya akan mengunjungi lahan tempat gedung Pemberdayaan Wanita yang akan dibangun ada diujung jalan, jadi aku merasa tidak masalah kalau rumah dan kebun cabaiku tidak diratakan alias dibersihkan.
“Tidak bisa Nak, ini sudah prosedur dari pusat. Semua lahan pemerintah harus dibersihkan dan diratakan” Kata Bapak yang  ada di Balai Desa.
“Saya mohon Pak, ayah saya tidak ada disini. Bapak bisa bayangkan bukan, bagaimana dia akan terpukulnya saat kembali melihat kebun yang selama ini dia tunggu-tunggu panennya sudah rata dengan tanah. Saya tidak mau ayah saya sedih Pak, saya mohon.” Aku tak kuasa menahan airmataku saat itu. Hatiku benar-benar mengharapkan ada keibaan dihati mereka para pemerintah negri ini terhadap rakyat kecil seperti kami.
Bapak itu mendekatiku.
“Tenang saja, pemerintah sudah menyiapkan uang ganti rugi untuk para penduduk yang kena gusur Nak” Hiburnya.
“Berapa?” Tanyakku.
“Besok kamu akan tau sendiri. Sekarang kamu pulang dan siapkan barang-barang dirumah, pindahkan rumahmu ketanah yang ada didepan kantor, karena bagian itu tidak kena gusur.” Saran sang Bapak.
            Aku pun kembali kerumah. Dirumah Ibu sudah menungguku. Dalam perjalanan pulang aku terus menyepaki kerikil-kerikil yang ada di sepanjang jalan setapak yang aku lewati. Pelik sekali rasanya masalah ini ya Allah. Aku menatap langit sambil seolah-olah terus berbicara kepada Tuhan. “ Tuhan ada dimana saat ini? Apakah dia melihat ku, atau dia sedang sibuk dengan hamba-hamba-Nya yang lainnya? Apakah yang Tuhan rahasiakan atasku, mengapa Dia hanya menatapku?” Aku membatin. Saat itu, aku seakan-akan ingin menyalahi Tuhan. Namun rasa itu sirna ketika aku mendengar kumandang adzan maghrib.
            Tidak butuh waktu yang lama, esoknya Aku dan Ibu mulai memindahkan barang-barang kami ketanah seberang jalan. Rumah yang dibangun sendiri oleh ayahku itu dibongkar dan dibangun kembali tepat di depan kantor Dinas Pendidikan. Rumah kami memang tidak besar., jadi tidak begitu lama untuk membongkarnya dan membangunnya kembali. Dengan bergotong royong bersama penduduk desa lainnya yang juga senasib dengan keluargaku, rumahku akhirnya berdiri lagi. Semua dibawa, kecuali yang tertinggal hanyakah bak kamar mandi yang tidak bisa dipindahkan karena terbuat dari semen permanen.
             Aku memandang kebun bunga kecilku. Kebun yang di tata oleh ayah dan ditanami bunga-bunga indah oleh Ibuku kini tinggal kenangan. Tanpa aku sadari airmataku menetes membasahi kerudung putihku. Hari itu aku bertekad bahwa aku harus menjadi orang sukses suatu hari nanti. Aku tak mau hal ini terulang kembali. Aku akan membuat kedua orang tuanya bangga dan bahagia suatu saat nanti. Tinggal disebuah rumah yang tak ada bayang-bayang penggusuran ketika mereka tertidur nyenyak.
“Sudah dipindahkan semuanya?” Seseorang  menegurnya dari belakang. Aku pun menoleh kebelakang. Ternyata Bapak yang waktu itu datang kerumahku yang menyampaikan berita penggusuran itu.
“Sudah Pak” Jawabku seadanya sambil mencoba tersenyum dihadapan lelaki paruh baya itu.
“Ini, uang yang kemarin Bapak katanya. Jumlahnya 1 juta untuk tiap rumah yang terkena gusur.” Jelasnya.
            Aku sangat terkejut, hanya 1 juta ? Aku membatin dan rasanya ingin protes, namun apa artinya aku protes pada Bapak ini, toh dia juga hanya menjalankan tugas dari yang diatasnya. Aku hanya tertunduk pilu, rasanya tak adil sekali, kebun cabe yang bisa menghasilkan puluhan juta diganti dengan uang 1 juta. Jangankan untung, modal saja boroh-boroh balik. Ya Tuhan, sangat tidak adil negri ini. Rakyat kecil yang seharusnya sejahtera, justru dibuat seperti ini. Hanya karena Mentri Pemberdayaan Wanita yang datang untuk meresmikan pembangunan Gedung saja, harus rakyat yang jadi korbannya. Saat Mentri itu datang, aku hanya melihatnya dari jauh sambil berkata didalam hati. “Kembalikan cabeku Bu…”
            Lamunanku buyar ketika ada seorang anak yang datang menghampiriku.
“Buk, aku sudah selesai menulisnya”. Aku terkejut, dan tersenyum padanya.
“Sudah selesai, mana? Coba Ibu lihat.” Tulisannya bagus. “Wah, kamu sudah tambah pintar ya nulis huruf hijaiyahnya. Akupun memberinya nilai 100. Dia tampaknya sangat bahagia. Tentu, nilai 100 bagi anak-anak SD itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Bahkan mereka bangga bisa mendapatkan nilai 100 dengan menunjukkannya kepada teman-temannya yang lain. Ada yang dapat nilai 80, tidak terlalu bahagia tetapi tidak juga bersedih. Namun bagi yang mendapatkan nilai 60 wajahnya langsung murung.
“Jangan cemberut, ini artinya kamu harus belajar lebih giat lagi ya sayang.” Aku mencoba untuk menghiburnya.
Biasanya aku menyiapkan hadiah bagi yang bisa menjawab 3 pertanyaan atau siapa yang bisa menjawab, bisa pulang jika dijam-jam terakhir. Hal itu aku lakukan untuk anak-anak dari kelas 1,2,3 dan 4. Untuk kelas 5 dan 6 aku lebih tegas dan tidak terlihat terlalu dekat, karena khawatir mereka akan manja. Tetapi biarpun sudah mencoba untuk terlihat killer, mereka tetap terlihat tidak takut atau segan kepadaku. Pernah suatu hari aku marah karena mereka membuat keributan didalam kelas dan itu anak kelas 6. Tetapi tetap saja mereka seperti tak ada rasa takut sampai-sampai aku bertanya kepada mereka, mengapa mereka tidak takut kalau aku marah.
“Gimana kami mau takut Bu, Ibu marah sama gak marah sama aja, wajah Ibu tetap senyum.” Jelas salah satu anak yang paling pintar diantara teman-temannya. Sontak semua anak-anak tertawa tidak terkecuali juga aku. Akhirnya suasan kelas yang tadinya tegang karna aku marah, jadi mencair kembali. Ya, aku membenarkan pernyataan anak ini, aku memang tidak bisa marah apalagi pada anak-anak. Memang pantas menjadi guru SD, pikirku.
            Pernah suatu hari saat aku mengajar dikelas 5. Aku masuk menggantikan guru kesenian yang tidak dapat hadir karena sakit. Sebagai guru honoran, aku harus membantu guru-guru yang tidak bisa masuk untuk mengajar. Aku menyuruh anak-anak untuk membuat gambar orang yang mereka sayangi. Namun aku mendapati seorang anak yang sedang asik sekali menulis. Aku pikir dia membuat gambar orang tuanya, ternyata bukan. Dia mengambar seorang wanita berkerudung, dan ada tulisan dibawahnya ‘Aku Sayang Ibu Nisa’. aku  terkejut. Lantas aku tanyakkan kenapa dia menulis kalimat seperti itu. Dia hanya tertuduk malu, teman-temannya malah menertawakannya. Aku yang juga merasa lucu dengan apa yang ditulis oleh anak itu juga hanya bisa tersenyum. Tetapi anak itu malah marah dan berlari keluar ruangan kelas. Aku pun menyuruh murid-murid yang lain untuk tidak keluar kelas. Aku mengikuti si anak yang ditertawakan oleh teman-temannya itu. Ternyata dia ada di samping toilet. Duduk sambil memeluk bukunya. Aku berdiri terpaku melihat anak laki-laki yang ada dihadapanku saat itu. Ku dekati dia dengan langkah pelan. Ku usap kepalanya.
“ Ada apa Wawan, kenapa Wawan keluar kelas “ Tanyaku pada anak yang bernama Wawan itu.
Dia masih terdiam, dan tak menjawab pertanyaanku.
“Wawan malu karena teman-teman menertawai Wawan tadi ya ?” Tanyaku lagi padanya. Dia masih membisu. “Coba Ibu lihat. Gambar wawan bagus kok, tetapi kenapa wawan menggambar Ibu guru dan kenapa Wawan tulis …’Aku Cinta Ibu Guru’?
Setelah lama membujuknya dan mencoba untuk mencari celah untuk bisa masuk kedalam perasaannya, akhirnya Wawan membuka mulut juga.
“Wawan udah anggap Ibu guru itu seperti Ibu wawan sendiri, Bu. Ibu tuh baik sekali pada kami semua, tidak pernah marah-marah, tidak pernah memukul, kalau dirumah,,,,, Wawan diperlakukan Ibu Wawan dengan kejam Bu, Wawan selalu dimarah, dipukul kalau kerja tidak becus.” Anak laki-laki itu menangis di hadapanku. Ya Tuhan, aku bisa merasakan kesedihan anak yang baru berusia 11 tahun ini. Ku elus rambutnya.
“Wawan tidak boleh bicara seperti itu, biar bagaimanapun dia tetap Ibunya Wawan yang sudah melahirkan wawan dengan susah payah, membesarkan wawan sampai sekarang wawan udah sekolah. Iya kan? Jadi wawan gak boleh bilang Ibu kandung wawan sediri ‘jahat’, apalagi sampai membencinya. Ingatkan apa yang pernah Ibu guru katakan saat kita belajar dikelas, bahwa Surga itu…. “
“Dibawah telapak kaki Ibu..” Sambutnya. Aku tersenyum. Kusentuh wajahnya yang lugu dengan kedua telapak tanganku seraya ku angkat.
“Dengar Ibu ya, Ibu akan slalu sayang Wawan, sampai kapanpun. Ibu yakin, Ibu Wawan juga sayang Wawan, jadi Wawan harus sayang Ibu Wawan dirumah juga ya. Sejahat-jahatnya orang tua, pasti ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Sekarang Wawan jangan sedih lagi ya. Trimakasih ya, Wawan udah memilih menggambar Ibu. Wah, gambarnya bagus.” Aku mengambil buku gambarnya. Dia mulai tersenyum. Setelah aku lihat dia mulai tertawa, akupun mengajaknya untuk kembali ke dalam kelas, yang pastinya sudah tak beraturan lagi karena telah aku tinggalkan.
            Banyak sekali hal-hal yang menyenangkan sejak aku menjadi seorang guru. Dari hal yang aku belum mengerti hingga aku bisa mengerti bagaimana cara berinteraksi dengan banyak anak-anak yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda. Seperti siang ini, aku berada dikelas 4. Ada seorang anak bernama Fandi, dia anak yang sangat terkenal nakal dan jahat. Suka menganggu teman-temannya, merobek buku orang bahkan suka memukul orang dengan benda-benda keras. Aku hampir kualahan menghadapinya. Guru-guru yang lain menyarankan untuk aku memarahinya jika dia sudah kelewatan. Tetapi aku tidak sampai hati. Aku tidak bisa marah apalagi memukul anak seusia dia. Namun benar apa yang guru-guru lain katakana, dia sangat keterlaluan. Seperti saat ini, dia naik keatas meja dan teriak-teriak ala rocker. Aku mulai kehabisan kata-kata untuk membuat dia mau duduk tenang dan tertip.
“Fandiii… turun Nak, nanti kamu jatuh sayang.” Aku kehabisan suara untuk melarangnya. Kenapa bisa ada anak sedemikian aktifnya ya? Aku mulai penasaran dengan anak yang satu ini. Apa mungkin karena dia keponakan kepala sekolah, jadi dia merasa berkuasa dan berhak berbuat sesuka hati?
            Yang di panggil tak sedikitpun menoleh dan menghiraukan, malah semakin teriak lebih keras. Semua anak-anak di kelas menutup telinga mereka. Aku bersabar karena memang sebentar lagi jam pulang sekolah. Daripada melayaninya, yang ada semakin runyam nantinya. Fandi itu anaknya keras dan tidak mau mengalah apalagi kalah. Apa-apa hanya dia yang harus didengar dan diikuti.
            Tak lama kemudian bel sekolah berbunyi. Aku menyuruh anak-anak untuk membaca doa dulu sebelum keluar ruangan. Fandi sudah keluar terlebih dahulu. Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat anak itu. Wataknya memang sepertinya sulit untuk dipahami. Tapi aku merasa, tak mungkin dia seperti itu jika tanpa alasan. Anak yang jahat atau nakal itu sebenarnya tak ada, tetapi kehidupannyalah yang membuat seorang anak itu bisa jahat dan nakal. Keras kepala ataupun bersikap kasar.
            Selesai membaca doa, semua murid menyalamiku. Mereka semua rata-rata sudah ditunggu oleh orang tua atau saudaranya bagi yang rumahnya jauh dari sekolah. Tetapi ada juga anak-anak yang cukup berjalan kaki sediri karena rumah mereka  dekat dengan sekolah. SDN 1 Simeulue Timur terletak didekat gunung. Sekolahnya sedikit jauh dari jalan raya. Katanya, SDN 1 ini mendapat juara SD paling bersih di kabupaten Simeulue. Apalagi , sekarang ada gurunya yang paling muda dan paling cantik. Ehe.. J
            Sekolah sudah mulai sepi, aku dan beberapa orang guru juga bersiap-siap untuk pulang. Biasanya aku pulang dengan berjalan kaki bersama temanku yang bernama ibu Kasniati. Tetapi biasa dipanggil ini Upik. Dia mengajar mata kuliah kesenian. Usia nya sudah lanjut, tetapi sayang dia belum juga menikah. Pernah dia bercerita, bahwa dulu dia memiliki tunangan, tetapi tunangannya justru menikah dengan wanita lain. Sejak peristiwa itu menimpanya, dia seperti menutup hati untuk laki-laki lain. Katanya, dia trauma dan tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta. Aku sempat mengatakan padanya, bahwa tidak semua laki-laki itu seperti itu, masih banyak diluar sana laki-laki yang berjiwa ksatria, yang mau menerimanya apa adanya. Namun sepertinya rasa takutnya untuk gagal lagi jauh lebih besar dan dan luka yang dulu digoreskan oleh mantan tunangannya sangat dalam, sehingga iya memutuskan untuk sendiri saja.
“Didalam islam, kita tidak boleh memilih untuk tidak menikah Pik, karena menikah itu adalah wajib bagi siapa saja yang sudah mampu. Rasul sendiri mengatakan, barang siapa yang tidak mau menikah padahal dia mampu, dia bukan bagian dari umat Beliau. Cobalah untuk membuka hati Pik, gagal sekalikan bukan berarti gagal selamanya.” Kataku padanya suatu hari ketika kami jalan pulang berdua.
“Iya Nis, aku juga terkadang merasa sepi. Diusia yang udah gak muda lagi ini, aku ingin ada yang menemani. Melewati masa-masa tua berdua dengan orang yang aku mencintainyam dan dia mencintaiku.” Balasnya. Agaknya dia sudah mulai terbuka pikirannya.
            Siang ini kami pulang melewati jalan seperti biasa. Dia lebih dahulu sampai karena memang rumahnya dengan sekolah hanya sekitar 100 meter, sementara aku lumayan jauh dari sekolah. Warung Ayah dan Ibu berada di persimpangan kota Sinabang. Ya, kami memang baru tinggal dikota ini sejak tanah pemerintah yang kami pakai di Takengon sudah dibangun semua oleh pemerintah. Ayah dan Ibu mendapatkan penawaran oleh salah seorang saudara Ibu untuk membuka usaha di Sinabang. Karena Ayah dan Ibu dari dulu memang usaha warung maka dari itu di sini juga membuka usaha warung. Yah, meskipun tidak besar-besaran tetapi keluargaku sedikit sudah ada kemajuan dari segi pendapatan material.
            Sinabang memang bukan kota yang besar. Hanya sebuah pulau kecil yang baru saja pisah dengan Aceh Barat dan membentuk kabupaten baru. Meskipun tidak besar, tetapi Sinabang terkenal dengan daerah bisnis. Banyak para pembisnis yang memulai usaha baru di sini. Ada yang usaha dibidang alat-alat bangunan ataupun makanan seperti kami. Sinabang memiliki dua pelayaran, satu menuju Labuhan Haji yaitu menuju daerah Aceh di pulau Sumatra sementara satunya lagi menuju Pelabuhan Sigkil yang menuju ke Sumatra Utara.
            Aku hampir sampai di rumah, tinggal melewati beberapa toko lagi. Cuaca terasa panas dan menyengat. Tak lama adzan dzuhur berkumandang. Didekat warungku ada sebuah masjid yang masih baru dibangun, jika waktu sholat tiba sangat jelas terdengar kumandangnya.
“Baru pulang?” Ibu menyapa ketika aku sudah tiba di depan warung. Didalam warung ada beberapa pembeli. Ayah tengah memasak mie Aceh karena memang warungku hanya menjual mie Khas Aceh juga beberapa jenis minuman seperti kopi dan jus.
“Iya Bu, panas sekali cuacanya” Jawabku sambil merebahkan tubuh dikursi ruang tengah.  Aku merasa seperti kurang enak badan. Aku mengambil segelas air putih dan menghabiskannya dalam sekali minum. Teriknya matahari membuat tubuh terhidrasi dengan cepat. Keringat membasahi seragam dinas ku. Kerudungku juga basah oleh peluh yang terus menetes. Jika cuaca panas seprti ini aku beguitu hobi meminum air dingin atau es, padahal sangat berbahaya bagi kesehatan karena bisa membuat tubuh sakit. Ibarat besi panas di masukkan ke dalam air pasti berkarat.
            Setelah melepas lelah sejenak diruang tengah, aku pun kemudian naik keatas. Ya, kamarku memang berada di lantai dua. Karena warung kami ini adalah ruko jadi semua kamar tidur ada diatas. Aku sudah sampai dikamar. Langsung merebahkan tubuh di tempat tidur dengan kipas angin yang terus berputar. Tetapi aku langsung sadar bahwa aku belum sholat dzuhur. Setelah mengganti pakaian aku turun kembali untuk wudhu dan kemudian sholat sebelum makan siang bersama Ibu dibawah.
Rasa-rasanya aku seperti tidak enak badan. Malam harinya aku benar-benar jatuh sakit. Badanku panas sekali. Aku Cuma bisa berbaring sejak pulang mengajar. Makan malam dibawa oleh ibu kekamarku. Ibu memang sangat perhatian padaku. Ibu juga tak beda dengan buku harianku yang tahu tentang semua cerita hidupku. Ibu menyaran agar aku besok minta izin saja untuk tidak masuk mengajar sampai aku benar-benar fit kembali. Aku menuruti saran ibu yang memang demi kebaikkanku juga.
Ibu menyarankan aku ke dokter. Tetapi mau kedokter rasanya malas. Aku tipikal orang yang susah minum obat. Kalau sakitnya aku rasa tidak terlalu parah yah, aku tidak akan meminum obat. Paling istirahat secukupnya dan makan yang banyak serta minum air putih. Seperti malam ini, aku pun terlelap setelah menghabiskan satu piring nasi dan segelas susu putih.

Bersambung.....( Sampai jumpa di season berikutnya ya... hehee ^_^ )

1 komentar:

  1. yaaaaa kalo makan sepiring susu segelas bukan sakit , namanya kelaparan. hehehehe

    BalasHapus