Siang terasa begitu panas di Pulau
Simeulue ini. Angin pun seolah-olah enggan untuk berhembus mengantarkan hawa
kesejukkan. Langit bersih tanpa awan. Apalagi mendung yang sudah pergi entah
kemana. Ini adalah puncak kemarau selama musim ini. Banyak masyarakat yang
jatuh sakit efek dari suhu yang begitu panas. Banyak tanaman-tanaman mengering,
layu dan mati jika tidak sering disiram. Namun ada yang seakan-akan tak pernah
kering dan mati, yaitu semangat seorang gadis bernama Annisa. Ya, itu adalah
aku. Aku adalah wanita yang masih
berusia 18 tahun namun sudah memiliki pejalanan hidup yang begitu rumit. Aku lahir
di pulau ini dengan kondisi keluarga yang dapat dikatakan sangat jauh dari kata
cukup. Ketika usianya masih 4 tahun, aku dibawa oleh ayah dan ibu pindah ke
Takengon untuk mencari usaha yang baru yaitu bertani. Namun ketika aku akan
menyelesaikan pendidikanku dibangku SMA, keluargaku kembali ke kota ini dan
membuka usaha baru menjadi penjual mie Aceh.
Sejak adanya
jejaring sosial, aku sangat suka sekali berinteraksi didunia maya. Apalagi
waktu itu aku sudah memiliki telepon genggam yang aku beli dari hasil bekerja
menjadi guru kontrak. Sejak aku berkecimpung di dunia maya, aku mendapat banyak
sekali pelajaran, mulai dari mengenal berbagai macam karakter manusia sampai
cara berteman yang baik dengan bahasa yang intelek. Meskipun banyak hal-hal
buruknya juga, seperti para penipu dan situs-situs yang tidak bermoral. Namun
aku tahu, mana yang bisa dijadikan panutan dan mana yang tidak. Menurutku, ilmu
dan pergaulan itu penting. Agar kita tau perkembangan zaman dan jika sewaktu
waktu zaman berubah kita bisa memilih mana yang bisa diikuti mana yang tidak.
Bukankah Islam juga mengajarkan kita untuk menuntut ilmu, supaya kita hidup
tidak di bodoh-bodohi? Begitulah cita-citaku, aku ingin menjadi seseorang yang
sukses dimasa depan, entah itu kapan. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku pernah
ada dan pernah tercipta. Aku juga ingin menjadi seorang penulis yang tulisannya
bisa dibaca oleh siapa saja. Bahkan mungkin dibaca oleh bapak presiden. Wah, mimpi yang tinggi yaa.? Tetapi
kenyataannya saat ini adalah,,,aku sedang duduk didepan kelas dengan anak-anak
yang kacau balau. Ada yang lagi mencoret-coret buku. Ada yang sedang menarik
kerudung temannya. Ada juga yang lagi mengetuk-ngetuk meja seperti drummer
profesional .
“Anak-anak, jangan berisik. Ibu gak bisa
menjelaskan, ibu pusing anak-anak. Sudah sudah.. diam “
Aku berusaha
untuk menenangkan suasana kelas yang sudah tak terkendalikan lagi. Bayangkan
saja, 45 siswa dalam satu kelas, bukan muatan yang baik untuk sebuah pendidikan
sebenarnya. Apalagi gurunya adalah gadis semudaku. Meskipun bukan anak SMA
lagi, tetapi aku baru saja lulus dari bangku SMA, dan juga ukuran badanku yang
bisa dibilang imut-imut kecil sangat mendukung sehingga murid-muridku tidak
takut.
Aku mengajar karena tidak ada keinginan untuk
menyambung kuliah dulu, dan daripada hanya makan tidur saja dirumah, akhirnya
aku memilih untuk menjadi guru kontrak sementara yang di kontrak selama 6
bulan. Gajinya pastinya tidak sebesar gaji guru yang sudah PNS, tetapi karena
ingin mencari pengalaman saja aku pun mencobanya. Apalagi kalau dari segi pribadi,
aku sebenarnya adalah sosok wanita yang sangat suka dengan anak-anak. Entah
mengapa setiap kali dekat dengan anak-anak kecil atau ketika berinteraksi
dengan mereka, ada ketenangan tersendiri. Dengan nakalnya mereka, dengan ocehan
mereka yang apa adanya. Mereka sangat polos dan lugu. Tak peduli apapun yang
terjadi. Bahkan dana untuk membangun sekolah mereka di korupsi oleh pejabat
negara saja mereka tak bisa memberontak.
Aku menulis
dipapan tulis huruf hijaiyah karena memang tugasnya disekolah ini adalah
menjadi gunu TBA yaitu tulis baca Al-qur’an, namun juga ada pelajaran tambahan
dari sekolah yaitu menjadi guru budi pekerti. Menjadi guru budi pekerti,
mengajarkan kepada anak-anak bagaimana seharusnya kita bersikap. Akhlak yang
baik hanya akan hadir ketika kita sudah tahu etika dan tata karma yang baik.
Betapa banyak anak-anak zaman sekarang ini yang moral serta etikanya jauh dari
sewajarnya. Contohnya saja, banyak pelajar-pelajar SMP yang sudah tidak
perawan, terjebak dalam kecanduan drugs, tauran dan dunia malam. Tak sedikit
juga yang bisa membunuh hanya hal-hal sepele, seperti masalah asmara, cemburu
buta atau kecemburuan sosial.
Dulu ketika aku
masih duduk dibangku SMA, aku melihat ada banyak sekali masalah remaja. Namun
aku bersyukur karena Tuhan sudah
menjagaku hingga aku bisa
melewati masa-masa SMA itu yang katanya masa-masa paling indah dengan
sewajarnya tanpa ada masalah yang bisa membuatku menyesal dikemudian hari.
Banyak diantara teman-temanku yang gagal ditengah jalan. Ada yang dipenjara
karena ketahuan menggunakan barang-barang terlarang. Ada juga yang menikah pada
saat akan UN karena sudah hamil terlebih dahulu. Semua itu berawal dari
pergaulan yang terlalu bebas. Gaul bagi mereka sudah disalah artikan, padahal
gaul itu harusnya membuat seseorang jauh lebih luas wawasannya dan menjadikan
seseorang itu jauh lebih cerdas dalam hidup. Bukan gaul yang mencoba segala
hal. Tahu bukan berarti mau kan?
Memang dulu
ketika aku masih duduk dibangku SMA, aku hanya tinggal didaerah yang jauh dari
perkotaan. Aku tinggal disebuah desa dimana semua penduduk pekerjaan
mayoritasnya adalah berkebun, termasuk ayahku. Ayahku sangat hobi dalam menanam
cabai dan tomat. Meskipun tanah yang kami pakai adalah tanah miliki pemerintah,
yang artinya kapan saja bisa digusur. Ya, kami memang tidak punya tempat
tinggal yang tetap. Suka berpindah pindah mencari tempat atau tanah yang belum
dipakai oleh pemerintah. Ayahku membangun sebuah rumah kecil ditengah tengah
lahan dengan taman bunga sederhana. Disanalah aku dan ibu menanam berbagai macam
bunga dan sayuran. Ada mawar, melati, anggrek dan banyak lainnya. Sayur-sayuran
seperti kacang panjang, saledri dan wartel. Semua terasa indah dan aku sangat
bahagia. Walaupun hidup dibawah garis kemiskinan, namun aku masih bersyukur
memiliki keluarga yang utuh. Siapapun akan bahagia jika berada dipelukkan kedua
orang tuanya sekalipun dalam keadaan perut yang lapar.
Namun ada satu
kejadian yang tidak bisa aku lupakan. Kejadian itu terjadi saat aku masih
berusia 15 tahun. Hari dimana ayah dan kakak laki-lakiku pulang kekampung untuk
mencari uang guna membiayai kakak pertanmaku yang tengah menjalani kuliahnya di
Banda Aceh. Aku dan ibu yang saat itu hanya tinggal berdua dalam kondisis Ibu
yang baru saja melahirkan adik keduaku. Pada hari itu didatangi dua orang pemuda yang tak
dikenal.
“ Maaf dek, bapaknya ada ?” Tanya salah
seorang dari mereka.
“Ayah saya sedang dikampung Pak. Ada apa
ya Pak ?”Jawabku.
“Kalau Ibunya ada tidak ?” Tanya
seorangnya lagi.
“Ada Pak, tapi Ibu saya sedang sakit.
Bapak boleh sampaikan sama saya saja.” Tawarku.
Kedua orang itu menatapku. Aku heran,
apa yang sebenarnya hendak mereka sampaikan? Mengapa mereka melihatku seperti
itu. Salah seorang dari mereka melanjutkan pembicaraan.
“Begini Nak, 3 hari lagi tanah ini harus
dikosongkan karena Meteri Pemberdayaan Wanita akan hadir, untuk meresmikan pembangunan
gedung Pemberdayaan Wanita yang baru dibangun di ujung sana.” Laki-laki itu
menunjuk kearah ujung jalan.
Aku sangat terkejut. 3 hari? Cuma tiga
hari? Apa yang bisa aku lakukan dalam waktu tiga hari itu Tuhan, sedangkan ayah
tidak ada bersama kami saat itu. Ibu juga masih sakit, tengah malam saja dia
yang harus bangun untuk membuat susu untuk adikku karena ibu terus merintih
kesakitan. Seketika juga aku merasa hidup seakan berakhir dan langit runtuh
menimpaku. Ya, aku yang hanya seorang gadis berusia 16 tahun, tetapi harus
menghadapi masalah sedemikian peliknya. Diam-diam tanpa diketetahui oleh ibu,
aku menangis sendiri di dapur sembari memasak nasi. Sambil sekali-kali menium bara
agar api menyala dan bisa membakar kayu yang padam.
Saat itu aku
benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan. Tetapi aku tak mau menyerah
begitu saja. Aku mencari cara bagaimana caranya agar penggusuran itu tidak
dilakukan dalam waktu tiga hari. Bukan hanya karena ayah tak ada bersama kami
saat itu, namun karena tanaman kebun kami juga akan segera dipanen, tinggal
menunggu beberapa hari lagi. Sangat tidak adil rasanya hanya karna Menteri Pemberdayaan
Wanita datang, kami yang sebagai rakyat kecil harus menanggung rugi yang
sedemikian banyak. Tak diberi kesempatan untuk memanen hasil kebun terlebih
dahulu.
Akhirnya
aku mempunya inisiatif dengan berniat mendatangi balai desa untuk minta agar
lahan bagian rumahku tidak digusur, karena Mentri Pemberdayaan Wanita itu hanya
akan mengunjungi lahan tempat gedung Pemberdayaan Wanita yang akan dibangun ada
diujung jalan, jadi aku merasa tidak masalah kalau rumah dan kebun cabaiku
tidak diratakan alias dibersihkan.
“Tidak bisa Nak, ini sudah prosedur dari
pusat. Semua lahan pemerintah harus dibersihkan dan diratakan” Kata Bapak yang ada di Balai Desa.
“Saya mohon Pak, ayah saya tidak ada
disini. Bapak bisa bayangkan bukan, bagaimana dia akan terpukulnya saat kembali
melihat kebun yang selama ini dia tunggu-tunggu panennya sudah rata dengan
tanah. Saya tidak mau ayah saya sedih Pak, saya mohon.” Aku tak kuasa menahan
airmataku saat itu. Hatiku benar-benar mengharapkan ada keibaan dihati mereka
para pemerintah negri ini terhadap rakyat kecil seperti kami.
Bapak itu mendekatiku.
“Tenang saja, pemerintah sudah
menyiapkan uang ganti rugi untuk para penduduk yang kena gusur Nak” Hiburnya.
“Berapa?” Tanyakku.
“Besok kamu akan tau sendiri. Sekarang
kamu pulang dan siapkan barang-barang dirumah, pindahkan rumahmu ketanah yang
ada didepan kantor, karena bagian itu tidak kena gusur.” Saran sang Bapak.
Aku
pun kembali kerumah. Dirumah Ibu sudah menungguku. Dalam perjalanan pulang aku
terus menyepaki kerikil-kerikil yang ada di sepanjang jalan setapak yang aku
lewati. Pelik sekali rasanya masalah ini ya Allah. Aku menatap langit sambil seolah-olah
terus berbicara kepada Tuhan. “ Tuhan ada dimana saat ini? Apakah dia melihat
ku, atau dia sedang sibuk dengan hamba-hamba-Nya yang lainnya? Apakah yang
Tuhan rahasiakan atasku, mengapa Dia hanya menatapku?” Aku membatin. Saat itu,
aku seakan-akan ingin menyalahi Tuhan. Namun rasa itu sirna ketika aku
mendengar kumandang adzan maghrib.
Tidak
butuh waktu yang lama, esoknya Aku dan Ibu mulai memindahkan barang-barang kami
ketanah seberang jalan. Rumah yang dibangun sendiri oleh ayahku itu dibongkar
dan dibangun kembali tepat di depan kantor Dinas Pendidikan. Rumah kami memang
tidak besar., jadi tidak begitu lama untuk membongkarnya dan membangunnya
kembali. Dengan bergotong royong bersama penduduk desa lainnya yang juga
senasib dengan keluargaku, rumahku akhirnya berdiri lagi. Semua dibawa, kecuali
yang tertinggal hanyakah bak kamar mandi yang tidak bisa dipindahkan karena
terbuat dari semen permanen.
Aku memandang kebun bunga kecilku. Kebun yang
di tata oleh ayah dan ditanami bunga-bunga indah oleh Ibuku kini tinggal
kenangan. Tanpa aku sadari airmataku menetes membasahi kerudung putihku. Hari
itu aku bertekad bahwa aku harus menjadi orang sukses suatu hari nanti. Aku tak
mau hal ini terulang kembali. Aku akan membuat kedua orang tuanya bangga dan
bahagia suatu saat nanti. Tinggal disebuah rumah yang tak ada bayang-bayang
penggusuran ketika mereka tertidur nyenyak.
“Sudah dipindahkan semuanya?”
Seseorang menegurnya dari belakang. Aku pun
menoleh kebelakang. Ternyata Bapak yang waktu itu datang kerumahku yang menyampaikan
berita penggusuran itu.
“Sudah Pak” Jawabku seadanya sambil
mencoba tersenyum dihadapan lelaki paruh baya itu.
“Ini, uang yang kemarin Bapak katanya.
Jumlahnya 1 juta untuk tiap rumah yang terkena gusur.” Jelasnya.
Aku
sangat terkejut, hanya 1 juta ? Aku membatin dan rasanya ingin protes, namun
apa artinya aku protes pada Bapak ini, toh dia juga hanya menjalankan tugas
dari yang diatasnya. Aku hanya tertunduk pilu, rasanya tak adil sekali, kebun
cabe yang bisa menghasilkan puluhan juta diganti dengan uang 1 juta. Jangankan
untung, modal saja boroh-boroh balik. Ya Tuhan, sangat tidak adil negri ini.
Rakyat kecil yang seharusnya sejahtera, justru dibuat seperti ini. Hanya karena
Mentri Pemberdayaan Wanita yang datang untuk meresmikan pembangunan Gedung
saja, harus rakyat yang jadi korbannya. Saat Mentri itu datang, aku hanya
melihatnya dari jauh sambil berkata didalam hati. “Kembalikan cabeku Bu…”
Lamunanku
buyar ketika ada seorang anak yang datang menghampiriku.
“Buk, aku sudah selesai menulisnya”. Aku
terkejut, dan tersenyum padanya.
“Sudah selesai, mana? Coba Ibu lihat.”
Tulisannya bagus. “Wah, kamu sudah tambah pintar ya nulis huruf hijaiyahnya.
Akupun memberinya nilai 100. Dia tampaknya sangat bahagia. Tentu, nilai 100
bagi anak-anak SD itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Bahkan mereka bangga
bisa mendapatkan nilai 100 dengan menunjukkannya kepada teman-temannya yang
lain. Ada yang dapat nilai 80, tidak terlalu bahagia tetapi tidak juga
bersedih. Namun bagi yang mendapatkan nilai 60 wajahnya langsung murung.
“Jangan cemberut, ini artinya kamu harus
belajar lebih giat lagi ya sayang.” Aku mencoba untuk menghiburnya.
Biasanya aku menyiapkan hadiah bagi yang
bisa menjawab 3 pertanyaan atau siapa yang bisa menjawab, bisa pulang jika dijam-jam
terakhir. Hal itu aku lakukan untuk anak-anak dari kelas 1,2,3 dan 4. Untuk
kelas 5 dan 6 aku lebih tegas dan tidak terlihat terlalu dekat, karena khawatir
mereka akan manja. Tetapi biarpun sudah mencoba untuk terlihat killer, mereka
tetap terlihat tidak takut atau segan kepadaku. Pernah suatu hari aku marah
karena mereka membuat keributan didalam kelas dan itu anak kelas 6. Tetapi tetap
saja mereka seperti tak ada rasa takut sampai-sampai aku bertanya kepada
mereka, mengapa mereka tidak takut kalau aku marah.
“Gimana kami mau takut Bu, Ibu marah
sama gak marah sama aja, wajah Ibu tetap senyum.” Jelas salah satu anak yang
paling pintar diantara teman-temannya. Sontak semua anak-anak tertawa tidak
terkecuali juga aku. Akhirnya suasan kelas yang tadinya tegang karna aku marah,
jadi mencair kembali. Ya, aku membenarkan pernyataan anak ini, aku memang tidak
bisa marah apalagi pada anak-anak. Memang pantas menjadi guru SD, pikirku.
Pernah
suatu hari saat aku mengajar dikelas 5. Aku masuk menggantikan guru kesenian
yang tidak dapat hadir karena sakit. Sebagai guru honoran, aku harus membantu
guru-guru yang tidak bisa masuk untuk mengajar. Aku menyuruh anak-anak untuk
membuat gambar orang yang mereka sayangi. Namun aku mendapati seorang anak yang
sedang asik sekali menulis. Aku pikir dia membuat gambar orang tuanya, ternyata
bukan. Dia mengambar seorang wanita berkerudung, dan ada tulisan dibawahnya
‘Aku Sayang Ibu Nisa’. aku terkejut.
Lantas aku tanyakkan kenapa dia menulis kalimat seperti itu. Dia hanya tertuduk
malu, teman-temannya malah menertawakannya. Aku yang juga merasa lucu dengan
apa yang ditulis oleh anak itu juga hanya bisa tersenyum. Tetapi anak itu malah
marah dan berlari keluar ruangan kelas. Aku pun menyuruh murid-murid yang lain
untuk tidak keluar kelas. Aku mengikuti si anak yang ditertawakan oleh
teman-temannya itu. Ternyata dia ada di samping toilet. Duduk sambil memeluk
bukunya. Aku berdiri terpaku melihat anak laki-laki yang ada dihadapanku saat
itu. Ku dekati dia dengan langkah pelan. Ku usap kepalanya.
“ Ada apa Wawan, kenapa Wawan keluar
kelas “ Tanyaku pada anak yang bernama Wawan itu.
Dia masih terdiam, dan tak menjawab
pertanyaanku.
“Wawan malu karena teman-teman
menertawai Wawan tadi ya ?” Tanyaku lagi padanya. Dia masih membisu. “Coba Ibu
lihat. Gambar wawan bagus kok, tetapi kenapa wawan menggambar Ibu guru dan
kenapa Wawan tulis …’Aku Cinta Ibu Guru’?
Setelah lama membujuknya dan mencoba
untuk mencari celah untuk bisa masuk kedalam perasaannya, akhirnya Wawan
membuka mulut juga.
“Wawan udah anggap Ibu guru itu seperti
Ibu wawan sendiri, Bu. Ibu tuh baik sekali pada kami semua, tidak pernah
marah-marah, tidak pernah memukul, kalau dirumah,,,,, Wawan diperlakukan Ibu
Wawan dengan kejam Bu, Wawan selalu dimarah, dipukul kalau kerja tidak becus.”
Anak laki-laki itu menangis di hadapanku. Ya Tuhan, aku bisa merasakan
kesedihan anak yang baru berusia 11 tahun ini. Ku elus rambutnya.
“Wawan tidak boleh bicara seperti itu,
biar bagaimanapun dia tetap Ibunya Wawan yang sudah melahirkan wawan dengan
susah payah, membesarkan wawan sampai sekarang wawan udah sekolah. Iya kan?
Jadi wawan gak boleh bilang Ibu kandung wawan sediri ‘jahat’, apalagi sampai
membencinya. Ingatkan apa yang pernah Ibu guru katakan saat kita belajar
dikelas, bahwa Surga itu…. “
“Dibawah telapak kaki Ibu..” Sambutnya.
Aku tersenyum. Kusentuh wajahnya yang lugu dengan kedua telapak tanganku seraya
ku angkat.
“Dengar Ibu ya, Ibu akan slalu sayang
Wawan, sampai kapanpun. Ibu yakin, Ibu Wawan juga sayang Wawan, jadi Wawan
harus sayang Ibu Wawan dirumah juga ya. Sejahat-jahatnya orang tua, pasti ingin
yang terbaik untuk anak-anaknya. Sekarang Wawan jangan sedih lagi ya.
Trimakasih ya, Wawan udah memilih menggambar Ibu. Wah, gambarnya bagus.” Aku
mengambil buku gambarnya. Dia mulai tersenyum. Setelah aku lihat dia mulai
tertawa, akupun mengajaknya untuk kembali ke dalam kelas, yang pastinya sudah
tak beraturan lagi karena telah aku tinggalkan.
Banyak
sekali hal-hal yang menyenangkan sejak aku menjadi seorang guru. Dari hal yang
aku belum mengerti hingga aku bisa mengerti bagaimana cara berinteraksi dengan
banyak anak-anak yang memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda. Seperti
siang ini, aku berada dikelas 4. Ada seorang anak bernama Fandi, dia anak yang
sangat terkenal nakal dan jahat. Suka menganggu teman-temannya, merobek buku
orang bahkan suka memukul orang dengan benda-benda keras. Aku hampir kualahan
menghadapinya. Guru-guru yang lain menyarankan untuk aku memarahinya jika dia
sudah kelewatan. Tetapi aku tidak sampai hati. Aku tidak bisa marah apalagi
memukul anak seusia dia. Namun benar apa yang guru-guru lain katakana, dia
sangat keterlaluan. Seperti saat ini, dia naik keatas meja dan teriak-teriak
ala rocker. Aku mulai kehabisan kata-kata untuk membuat dia mau duduk tenang
dan tertip.
“Fandiii… turun Nak, nanti kamu jatuh
sayang.” Aku kehabisan suara untuk melarangnya. Kenapa bisa ada anak sedemikian
aktifnya ya? Aku mulai penasaran dengan anak yang satu ini. Apa mungkin karena
dia keponakan kepala sekolah, jadi dia merasa berkuasa dan berhak berbuat
sesuka hati?
Yang
di panggil tak sedikitpun menoleh dan menghiraukan, malah semakin teriak lebih
keras. Semua anak-anak di kelas menutup telinga mereka. Aku bersabar karena
memang sebentar lagi jam pulang sekolah. Daripada melayaninya, yang ada semakin
runyam nantinya. Fandi itu anaknya keras dan tidak mau mengalah apalagi kalah.
Apa-apa hanya dia yang harus didengar dan diikuti.
Tak
lama kemudian bel sekolah berbunyi. Aku menyuruh anak-anak untuk membaca doa
dulu sebelum keluar ruangan. Fandi sudah keluar terlebih dahulu. Aku
menggeleng-gelengkan kepala melihat anak itu. Wataknya memang sepertinya sulit
untuk dipahami. Tapi aku merasa, tak mungkin dia seperti itu jika tanpa alasan.
Anak yang jahat atau nakal itu sebenarnya tak ada, tetapi kehidupannyalah yang
membuat seorang anak itu bisa jahat dan nakal. Keras kepala ataupun bersikap
kasar.
Selesai
membaca doa, semua murid menyalamiku. Mereka semua rata-rata sudah ditunggu
oleh orang tua atau saudaranya bagi yang rumahnya jauh dari sekolah. Tetapi ada
juga anak-anak yang cukup berjalan kaki sediri karena rumah mereka dekat dengan sekolah. SDN 1 Simeulue Timur
terletak didekat gunung. Sekolahnya sedikit jauh dari jalan raya. Katanya, SDN
1 ini mendapat juara SD paling bersih di kabupaten Simeulue. Apalagi , sekarang
ada gurunya yang paling muda dan paling cantik. Ehe.. J
Sekolah
sudah mulai sepi, aku dan beberapa orang guru juga bersiap-siap untuk pulang.
Biasanya aku pulang dengan berjalan kaki bersama temanku yang bernama ibu
Kasniati. Tetapi biasa dipanggil ini Upik. Dia mengajar mata kuliah kesenian.
Usia nya sudah lanjut, tetapi sayang dia belum juga menikah. Pernah dia
bercerita, bahwa dulu dia memiliki tunangan, tetapi tunangannya justru menikah
dengan wanita lain. Sejak peristiwa itu menimpanya, dia seperti menutup hati
untuk laki-laki lain. Katanya, dia trauma dan tidak percaya lagi dengan yang
namanya cinta. Aku sempat mengatakan padanya, bahwa tidak semua laki-laki itu
seperti itu, masih banyak diluar sana laki-laki yang berjiwa ksatria, yang mau
menerimanya apa adanya. Namun sepertinya rasa takutnya untuk gagal lagi jauh
lebih besar dan dan luka yang dulu digoreskan oleh mantan tunangannya sangat
dalam, sehingga iya memutuskan untuk sendiri saja.
“Didalam islam, kita tidak boleh memilih
untuk tidak menikah Pik, karena menikah itu adalah wajib bagi siapa saja yang
sudah mampu. Rasul sendiri mengatakan, barang siapa yang tidak mau menikah
padahal dia mampu, dia bukan bagian dari umat Beliau. Cobalah untuk membuka
hati Pik, gagal sekalikan bukan berarti gagal selamanya.” Kataku padanya suatu
hari ketika kami jalan pulang berdua.
“Iya Nis, aku juga terkadang merasa
sepi. Diusia yang udah gak muda lagi ini, aku ingin ada yang menemani. Melewati
masa-masa tua berdua dengan orang yang aku mencintainyam dan dia mencintaiku.”
Balasnya. Agaknya dia sudah mulai terbuka pikirannya.
Siang
ini kami pulang melewati jalan seperti biasa. Dia lebih dahulu sampai karena
memang rumahnya dengan sekolah hanya sekitar 100 meter, sementara aku lumayan
jauh dari sekolah. Warung Ayah dan Ibu berada di persimpangan kota Sinabang.
Ya, kami memang baru tinggal dikota ini sejak tanah pemerintah yang kami pakai
di Takengon sudah dibangun semua oleh pemerintah. Ayah dan Ibu mendapatkan
penawaran oleh salah seorang saudara Ibu untuk membuka usaha di Sinabang. Karena
Ayah dan Ibu dari dulu memang usaha warung maka dari itu di sini juga membuka
usaha warung. Yah, meskipun tidak besar-besaran tetapi keluargaku sedikit sudah
ada kemajuan dari segi pendapatan material.
Sinabang
memang bukan kota yang besar. Hanya sebuah pulau kecil yang baru saja pisah
dengan Aceh Barat dan membentuk kabupaten baru. Meskipun tidak besar, tetapi
Sinabang terkenal dengan daerah bisnis. Banyak para pembisnis yang memulai
usaha baru di sini. Ada yang usaha dibidang alat-alat bangunan ataupun makanan
seperti kami. Sinabang memiliki dua pelayaran, satu menuju Labuhan Haji yaitu
menuju daerah Aceh di pulau Sumatra sementara satunya lagi menuju Pelabuhan
Sigkil yang menuju ke Sumatra Utara.
Aku
hampir sampai di rumah, tinggal melewati beberapa toko lagi. Cuaca terasa panas
dan menyengat. Tak lama adzan dzuhur berkumandang. Didekat warungku ada sebuah
masjid yang masih baru dibangun, jika waktu sholat tiba sangat jelas terdengar
kumandangnya.
“Baru pulang?” Ibu menyapa ketika aku
sudah tiba di depan warung. Didalam warung ada beberapa pembeli. Ayah tengah
memasak mie Aceh karena memang warungku hanya menjual mie Khas Aceh juga
beberapa jenis minuman seperti kopi dan jus.
“Iya Bu, panas sekali cuacanya” Jawabku
sambil merebahkan tubuh dikursi ruang tengah.
Aku merasa seperti kurang enak badan. Aku mengambil segelas air putih
dan menghabiskannya dalam sekali minum. Teriknya matahari membuat tubuh
terhidrasi dengan cepat. Keringat membasahi seragam dinas ku. Kerudungku juga
basah oleh peluh yang terus menetes. Jika cuaca panas seprti ini aku beguitu
hobi meminum air dingin atau es, padahal sangat berbahaya bagi kesehatan karena
bisa membuat tubuh sakit. Ibarat besi panas di masukkan ke dalam air pasti
berkarat.
Setelah
melepas lelah sejenak diruang tengah, aku pun kemudian naik keatas. Ya, kamarku
memang berada di lantai dua. Karena warung kami ini adalah ruko jadi semua
kamar tidur ada diatas. Aku sudah sampai dikamar. Langsung merebahkan tubuh di
tempat tidur dengan kipas angin yang terus berputar. Tetapi aku langsung sadar
bahwa aku belum sholat dzuhur. Setelah mengganti pakaian aku turun kembali
untuk wudhu dan kemudian sholat sebelum makan siang bersama Ibu dibawah.
Rasa-rasanya aku
seperti tidak enak badan. Malam harinya aku benar-benar jatuh sakit. Badanku
panas sekali. Aku Cuma bisa berbaring sejak pulang mengajar. Makan malam dibawa
oleh ibu kekamarku. Ibu memang sangat perhatian padaku. Ibu juga tak beda
dengan buku harianku yang tahu tentang semua cerita hidupku. Ibu menyaran agar
aku besok minta izin saja untuk tidak masuk mengajar sampai aku benar-benar fit
kembali. Aku menuruti saran ibu yang memang demi kebaikkanku juga.
Ibu menyarankan
aku ke dokter. Tetapi mau kedokter rasanya malas. Aku tipikal orang yang susah
minum obat. Kalau sakitnya aku rasa tidak terlalu parah yah, aku tidak akan
meminum obat. Paling istirahat secukupnya dan makan yang banyak serta minum air
putih. Seperti malam ini, aku pun terlelap setelah menghabiskan satu piring
nasi dan segelas susu putih.
Bersambung.....( Sampai jumpa di season berikutnya ya... hehee ^_^ )
yaaaaa kalo makan sepiring susu segelas bukan sakit , namanya kelaparan. hehehehe
BalasHapus