14.6.14

Kisah Tanpa Judul 2



Cuaca panas kian menggila. Yang terbiasa mengeluarkan darah dari hidungnya pasti sangat menderita, untung saja aku tidak memiliki riwayat mimisan, jika ada pasti sangat merepotkan dengan profesiku saat ini sebagai guru. Cuaca panas ini juga pernah membuatku panik ketika aku saat itu sedang mengajar di ruang kelas 1. Seorang anak mimisan dan darahnya banyak sekali mewarnai seragam dinasku. Aku langsung menggotongnya ke ruang guru untuk memberika pertolongan pertama agar darahnya berhenti.
            Hari ini cuaca masih sama seperti kemarin. Awan seakan enggan berdiri diatas langit kota Sinabang. Debu-debu dijalanan berterbangan membawa wabah penyakit. Bagi penduduk yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah akan cepat jatuh sakit. Ya, aku salah satunya. Hari ini aku absen untuk mengajar di sekolah. Aku demam dan kepalaku terasa pusing. Seharian aku di kamar dan untuk turun saja aku tak sanggup. Untung ada Ibu yang dengan setianya membawakanku makan pagi dan makan siang.
            Bosan tak tahu berbuat apa. Aku membolak balik sebuah buku. Buku harianku ketika aku masih berada di bangku SMA dulu. Waktu masih SMA aku pernah mengikuti kegiatan paskibraka, dan yang sangat terkesan adalah aku jatuh cinta kepada kakak pelatihku yang tidak lain adalah temanku sendiri. Namanya Rangga. Setelah aku pindah ke Sinabang, aku dan dia sudah tak pernah lagi saling berkomunikasi. Aku tau, dia tidak menyukaiku. Tetapi yang namanya orang yang tengah di landa cinta apapun pasti tak di pedulikan. Terkadang benar, cinta itu hadir karena kebersamaan. Sering bertemu dan bertatap muka, atau berkomunikasi. Dan cinta juga akan mati karena pengabaian. Seperti kami yang tatkala itu sering bertemu dalam satu kegiatan yang sama. Hanya saja bedanya, dia adalah pelatih dan aku yang dilatihnya.
            Buku harian warna kuning tua yang masih wangi dan rapi. Aku sering berniat akan membuangnya karena kisahku dengannya sudah lama ingin aku akhiri. Lagipula, tak ada artinya terus menyimpan sesuatu yang hanya membuat kita terus larut dalam masalalu kita. Jika kita ingin melupakan seseorang bukankah kita harus menghindari hal-hal yang bisa membuat kita mengingatnya?. Terkadang aku merasa bahwa cinta itu seperti rantai makanan yang ada di dalam buku IPA SMP, dimana tikus dimakan ular dan ular dimakan oleh elang. Aku merasa cintaku seperti rantai makanan, dimana aku mencintai seseorang namun aku dicintai oleh seseorang. Bukankah setiap manusia diciptakan Tuhan dengan pasangan masing-masing yang tidak akan pernah tertukar ataupun salah cipta?. Tentu.
            Aku juga pernah memiliki penggemar rahasia, namanya aku tak tahu. Namun aku menyebutnya Satria. Satria adalah sosok misterius yang pernah hadir dihidupku 2 tahun yang lalu. Lewat via sms dan telpon, dia slalu ada disaat aku butuhkan. Aku bahkan sering mendapat hadiah darinya. Dia pernah meletakkan sebuah novel dibelakang rumahku dulu ketika aku masih tinggal di Takengon tepat jam 12 malam.
            Aku sempat berpikir, apa mungkin Satria ini adalah hantu  atau juga siluman yang telah jatuh cinta padaku.  Konyol, tapi dia memang benar-benar mistik sekali. Sayang, kami harus putus komunikasi karna waktu itu telpon genggamku hilang saat aku dan teman-teman pergi nonton pacuan kuda. Namun aku sudah cukup bahagia, meskipun tak pernah melihat wajahnya seperti apa. Hadiah-hadiah darinya adalah perwakilan dari wajahnya. Dia sahabat terbaik yang pernah aku temui selama ini. Tulus, dan tak pernah meminta hubungan kami berubah. Sahabat ya sahabat, jangan di hancurkan dengan kata cinta dari salah seorangnya.
            Adzan Ashar berkumandang merdu. Aku berusaha untuk bangkit meskipun tubuhku masih terasa lesu sekali. Kepala seperti orang vertigo. Sendi-sendi badanku terasa nyeri dan letih. Wajar saja, ternyata profesi menjadi seorang guru itu tidak semudah yang selama ini aku bayangkan selama ini. Kadang jika aku teringat akan kenakalanku ketika di SMP kepada guru-guru aku sering merasa berdosa karena sekarang aku merasakan sulitnya menjadi seorang pendidik. Wajar jika guru itu disebut pahlawan tanpa tanda jasa.
            Aku sudah selesai sholat. Berdoa sesaat dan dzikir. Aku sangat bersyukur atas hidup yang telah Tuhan berikan kepadaku. Aku jauh lebih beruntung dari mereka yang sekarang bahkan untuk tempat berteduh saja tidak punya. Teringat ketika aku dibawa oleh saudara Ibu ke Ibu kota Negara ini. Jakarta. Ya, sebuah kota yang sangat padat oleh orang-orang yang berjuang untuk hidup mereka. Waktu itu, aku berangkat dari Bekasi ke pusat perbelanjaan naik kereta. Aku melihat disepanjang rel kereta ada banyak sekali orang-orang yang tidur dengan pakaian yang sangat kumal. Anak-anak yang menjadi pengamen hingga mereka tak peduli lagi akan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan. Ya, yang aku tau fakir miskin dan anak terlantar itu dipelihara oleh Negara. Namun apakah yang kulihat saat itu sesuai dengan apa yang tertulis? Entahlah. Hidup terkadang terlihat kejam dan itu yang ku rasakan selama berada di Ibu kota negri ini. Sayang, tingginya gedung-gedung di sana menyamai tingginya angka kemiskinan di negri ini.
“Tok..tok…tok..” Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamarku. Aku yang masih duduk di atas sajadah mengakhiri doaku.
“Siapa?” Tanyaku heran. Kalau Ibu biasanya langsung memanggil ku.
“ Saya Sari ” Jawab seseorang yang ada di balik pintu. Aku tidak memiliki seorang teman yang bernama Sari. Siapa dia? Dan mengapa sore-sore seperti ini dia mencari ku. Aku terus bertanya-tanya sendiri keheranan. Aku pun membuka pintu kamar. Seorang wanita kira-kira seusiaku berdiri sambil memberikan senyum kepadaku. Dia memakai baju kaos berwarna hijau muda dan rok hitam serta kerudung hitam. Dia mengulurkan tangannya.
“Saya Sari. Ibu Elvi kan ?” Tanyanya seraya mengulurkan tangannya tanda berkenalan. Aku menyambutnya dengan membalas tersenyum padanya.
“Iya, saya Elvi. Maaf, kamu siapa ya? Dan ada apa mencari saya?” Tanyaku. Aku mempertsilahkan dia untuk masuk kekamar. Meskipun agak sedikit aneh karena ini kali yang pertama aku membawa masuk orang asing ke dalam kamarku. Kami duduk di atas tempat tidur.
“Begini kak,  aku ke sini karena disuruh oleh seseorang. Dia selalu memperhatikan Ibu setiap kali Ibu melewati rumahnya ketika Ibu pergi ke sekolah untuk mengajar. Nah, karena dia belum berani untuk datang sendiri, dia menyuruhku untuk menemui Ibu.” Anak itu menjelaskan maksud kedatangannya.
            Aku tertawa geli mendengarkan apa yang dikatakan anak gadis ini. Sungguh lucu, baru kali ini aku menemui seseorang yang begitu merasakan jatuh cinta, sampai-sampai tidak mau menunggu esok pagi. Ya, orang sedang dilanda cinta memang seprti itu. Bahkan langit yang mendung dilihat cerah. Badai dan petirpun akan di hadapi demi si pujaan hatinya.Geli.
“Kak, boleh gak saya tau nomor kontak Ibu?”Anak yang bernama Sari itu mengiba.
“Untuk apa?” Aku merasa sedikit berat untuk memberikannya.
“Tadi dia mengatakan untuk meminta nomor kontak Ibu. Please kak. Kalau Kakak tidak memberikannya saya bisa-bisa di pecat oleh bang Evan.” Sari memohon.
            Hah , apa hubungannya aku tidak memberi nomor kontakku dengan dia dipecat? Pikirku. Wanita yang satu ini semakin membuatku bingung. Apa lagi itu, si Evan, siapa sih dia? Mengapa dia bisa menyukaiku? Dengan badan yang masih belum fit aku merasa kepalaku semakin pusing karena kebingungan dan sekarang seorang wanita bernama Sari yang juga baru aku kenal memohon-mohon meminta nomor kontakku. Ada apa ini sebenarnya?
            Akhirnya setelah meminta penjelasannya, Saripun menceritakan semuanya. Tenyata Sari bekerja di tempat penjualan pulsa milik Evan yang ada di jalan yang sering aku lewati saat akan ke SD tempat aku mengajar. Evan sering melihatku saat dia akan berangkat ke kantor. Dia bekerja di salah satu instansi pemerintah yang ada di kota Sinabang ini. Evan menyukaiku namun tidak memiliki nyali untuk mengatakan sendiri dan akhirnya dia menyuruh Sari salah satu pegawai di konternya untuk menemuiku dan menyuruhnya meminta nomor kontakku, jika tidak berhasil maka Sari akan di pecat.
            Aku tak yakin dengan ancaman itu, bisa saja itu ide Sari sendiri agar aku mau memberikan nomor kontakku kepada Evan. Namun setelah ku pikir-pikir, ya sudahlah, tak ada salahnya juga untuk memberikannya. Akhirnya akupun memberikan nomor kontakku kepada Sari. Sari sangat senang karena usahanya berhasil. Aku mulai berpikir bahwa dia itu seperti mak comblang seperti di televisi, suka sekali menjodoh-jodohkan orang. Dasar kurang kerjaan.
            Setelah mendapatkan nomor kontakku dia pun berpamitan untuk pulang karena sebentar lagi adzan maghrib juga akan berkumandang.
“Kamu naik apa tadi kesini ? Jalan kaki?” Tanyaku padanya ketika kami sudah mau berpisah. Memang daerah tempat dia bekerja dengan warungku tidak begitu jauh, aku saja jalan kaki kalau akan mengajar.
Gak Kak, saya ke sini dengan bang Evan.” Jawabnya sambil senyum-senyum.
“Hah, Evan di sini. Loh, kenapa bukan dia saja yang langsung menemui aku? Dia sekarang nunggu dimana?” Aku terkejut saat tau Evan datang bersama Sari.
“Dia ada dibawah Kak. Belum berani menemui Kakak katanya” Sari menjawab sambil tertawa pelan.
“Wah, itu namanya laki-laki yang gak gantle Sari.hehe..” Akupun jadi tertawa.
            Sari berpamitan pulang sambil terus mengucapkan terimakasih berkali-kali. Dia kelihatan sangat bahagia karena berhasil menemuiku dan mendapatkan nomor kontakku. Sangat aneh, seperti di FTV-FTV yang ada di televisi saja. Semua seakan sudah di skenari dengan rapi dan baik. Memang terkadang ada banyak ke aneh dalam hidup ini. Yang tak pernah kita bayangkan bisa terjadi kapan pun.
            Tak lama dari kepulangan Sari. Hand Phone ku berdering. Ada pesan masuk.
Boleh kenalan gak? ( Isi dari pesan itu). Aku sudah menduga bahwa itu adalah Evan. Lelaki yang mengirimkan Sari untuk menemuiku tadi. Waw, begitu cepatnya dia menghubungiku. Aku tidak langsung membalasnya. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil memainkan HP ku. Aku teringat akan doa yang tadi kupanjatkan usai aku sholat Ashar. Aku meminta kepada Tuhan agar di pertemukan dengan seseorang yang mencintaiku apa adanya, menerima keadaan keluargaku. Apakah ini jawaban dari doaku tadi? Mengapa begitu cepat Tuhan mengijabahnya? Ada rahasia apa dibalik kejadian ini hanya Allah yang tahu. Ya, hanya Allah yang mengerti.
            Adzan maghrib berkumandang. Aku membalas smsnya.
“Assalamu’alaikum. Iya boleh, tapi ini sudah maghrib. Sholat dulu ya.”
Dia membalas
“Wa’alaikumsalam. Iya J
            Aku bangkit keluar kamar untuk wudhu di bawah. Warung ayah juga sudah tutup tetapi masih ada satu dua orang yang masih makan di dalam warung. Aku langsung berwudhu dan kembali ke kamar untuk sholat. Selesai sholat aku sempatkan untuk membaca Al-Qur’an agar tubuh lebih terasa segar. Aku berharap besok sudah sembuh karena aku harus kembali mengajar. Anak-anak didikku pasti sudah menungguku. Namun tidak lama saat aku membaca Al-Qur’an, telpon genggamku kembali berdering. Aku sudah menduga jika itu pasti lelaki yang bernama Evan tadi. Ternyata dia benar-benar ingin tau tentang aku.
            Aku terus membaca Al-Qur’an hingga selesai baru setelah itu aku membuka pesan yang ada di HP. Benar, pesan itu dari Evan. Dia mengatakan di dalam pesan singkat itu jika dia ingin berkenalan denganku. Ya, bagiku itu tidak masalah, selama masih dalam batas sewajarnya. Mungki saja dia ingin berteman. Akhirnya, kami jadi sering berbalas-balas pesan. Yang dibahas juga seputar hal-hal yang biasa-biasa saja layaknya seorang teman, tak ada yang istimewa. Ya, memang tak ada.
            Malam mulai mencekam, kota Sinabang perlahan mulai menyepi. Suara-suara kendaraan yang biasanya lalu lalang sudah hampir tak terdengar lagi, hanya sesekali saja terdengar orang yang melintasi jalan di depan warungku. Ayah sudah members-bereskan warung. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam. Biasanya ayah menutup warung jam 12, kali ini karena dagangannya cepat habis jadi ayah sedikit lebih cepat menutup warungnya dibandingkan hari-hari biasanya.
            Meskipun terbilang baru, tetapi warung mie Aceh kami adalah warung mie yang terlaris saat itu. Ada orang-orang yang hamper setiap malam membeli mie Aceh buatan kami. Meskipun warung mie Aceh di Sinabang bukan hanya warung kami. Bahkan pembeli dari luar kota juga banyak seprti dari Aceh Barat dan Medan. Banyakkan saja, demi menikmati mie buatan kami, rela membayar ongkos kapal dan mobil.
            Sebenarnya ayah adalah seorang pegawai negri. Tetapi meskipun seorang pegawai, hidup kami tak pernah berkecukupan. Aku tak tahu mengapa bisa seperti itu. Sering aku merasa bahwa keberkahan keluarga kami seakan tak pernah ada. Memang, sejak aku dan saudara-saudaraku masih kecil-kecil. Ayah dan Ibu itu sering sekali bertengkar. Hal-hal sepele yang sebenarnya lebih pantas untuk menjadi lelucon pun kerap kali menjadi ribut besar. Aku bahkan sering bertanya-tanya, apakah mungkin tak pernah ada cinta diantara mereka ? Entahlah.
            Malam ini aku tidak bisa menolong Ibu dan Ayah karena kondisi tubuhku yang masih demam. Mataku sudah mulai mengantuk usai sholat isya. Rasanya begitu sampai di tempat tidur aku akan langsung terlelap. Tetapi aku sempat melihat telpon genggamku. Ada 3 pesan dan itu semua dari Evan. Lelaki ini, rajin sekali menghubungiku. Aku jadi penasaran dengan wajahnya. Seperti apa dia? Aku kini mulai jadi membayangkannya. Ya, dia. Evan.  Lelaki yang hadir ketika aku berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan seseorang yang bisa menyayangiku apa adanya. Benarkan dia adalah jawaban dari doaku itu?.
“Slamat tidur ya?” Ucapnya di pesan
“Iya” Balasku.
“Besok aku jemput boleh tidak?” Tawarnya.
Aku sangat terkejut dengan tawarannya. Entah mengapa jantungku berdegup kencang sekali. Aku bingung harus menjawab apa. Baru kali ini aku di jemput oleh lelaki. Tanpa pikir panjang akupun menerima tawarannya. Ada perasaan senang juga malu-malu saat akan menerima tawarannya. Bagaimana ya besok ketika aku melihat wajahnya untuk yang pertama kalinya? Ah, jantungku tiba-tiba berdegup kenjang. Dan akupun tertidur dalam keadaan hati penuh rasa penasaran.
Pagi ini cuaca sejuk sekali. Burung-burung seakan-akan ikut bernyanyi mengiringi bahagia hatiku saat ini. Aku sudah membaik. Tubuhku sudah tidak lagi panas dan kepalaku tak lagi terasa pusing. Pagi ini aku memutuskan untuk masuk mengajar di SD. Justru jika aku terus berada di rumah bisa-bisa aku semakin sakit karena berdiam diri terus di dadalam kamar.
Matarhari menyinari kota Sinabang ini seperti biasa. Tampaknya musim kemarau sangat betah berdiam di kota yang di sebut orang-orang adalah pulau hantu. Tak tau sejak kapan julukan itu diberikan kepada tanah kelahiranku ini. Ya, aku memang lahir di sini, namun ketika usiaku masih 4 tahun aku dibawa oleh ayah dan ibu ke Takengon karena ayah harus pindah kerja kala itu. Pulau ini sering ada orang bunuh diri dan dulu masih banyak pesugihan atau perdukunan, karena itu sering ada penampakkan di malam hari. Barangkali, ini yang menyebabkan pulau ini disebut pulau hantu oleh para pendatang dari luar pulau.
Aku sudah siap, tinggal melangkah menuju sekolah. Anak-anak pasti sudah sangat merindukanku. Aku tau itu dari Upik teman satu tempat aku bekerja. Katanya  anak-anak banyak yang bertanya aku ada kemana. Bahkan ada yang bilang aku sudah tidak mau mengajar lagi karena mereka sering nakal. Aku hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan mereka yang di sampaikan oleh Upik. Ya, aku memang sangat dekat dengan semua anak-anak didikku, bahkan aku tidak tahu bagaimana kelak jika suatu saat aku berhenti berkerja karena honorku sudah habis tempo? Karena itu aku ingin memberikan yang terbaik kepada mereka. Khususnya kepada anak-anak kelas 6.  Diantara mereka ada yang sudah 2 kali tinggal kelas karena tidak lulus ujian akhir nasional atau UAN dan aku mau kali ini aku mau membuat anak itu harus lulus. Apalagi, aku adalah guru yang dipilih oleh kepala sekolah untuk mengajar mata kuliah yang akan di UAN kan saat pulang sekolah atau les sore.
Aku mengajar les sore khusus bagi kelas 5 dan 6. Namun, yang sangat di utamakan adalah anak-anak kelas 6 karena mereka yang akan mengikuti UAN. Meskipun gaji mengajar di luar jadwal sekolah tidak besar, namun aku sangat bahagia bisa di percayai oleh kepala sekolah untuk mengajarkan mereka mata pelajaran yang akan di UAN kan. Ada beberapa mata kuliah yang menjadi bagianku, seperti bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan alam (IPA) dan bahasa inggris. Kalau matematika ada guru khusus yaitu Pak Yadi. Awalnya aku juga tidak memegang mata pelajaran bahasa inggris, namun karena guru yang bersangkutan sudah mengundurkan diri akhirnya kepala sekolah menyuruhku untuk menggantikan sementara sambil menunggu penggantinya.
Aku sudah berada di depan warung. Tiba-tiba telepo genggamku bordering. Ada pesan. Aku sedikit terkejut, ternyata itu dari Evan.
“Assalamu’alaikum Ibu guru. Sedang lagi mau ke sekolah ya ?. Aku jemput ya?” sapanya kepadaku. Aku bingung mau menjawab apa. Tapi baru kali ini ada seorang lelaki yang mau menjemputku kerumah. Biasanya, hanya berani mengajak ketemuan di suatu tempat. Aku masih mengenggam HP ku, bingung harus menjawab apa. Tiba-tiba Ibu mengejutkanku dengan suara pintu warung yang diseretnya.
“Belum pergi? Tanya Ibu padaku.
“Belum Bu, ada yang menawarkan mau mengantarkanku kesekolah.” Jawabku agak takut-takut. Aku memang sudah menceritakan tentang Evan kepada Ibu waktu ibu melihat keadaanku malam itu. Namun rasanya masih sangat canggung. Jujur, ini adalah kali pertama aku didatangi oleh lelaki seperti ini. Apa ini ya yang dinamakan dengan cinta pertama. Apakah begini rasanya? Aku memang sering jatuh cinta di waktu SMA, namun ini aku rasakan sangat berbeda dari yang pernah aku alami. Mungkin karena sekarang aku bukan lagi anak SMA jadi suasannya berbeda. Ah, entahlah.
“Di jemput siapa? Laki-laki yang semalam kamu ceritakan ya?” Ibuku menebak. Sontak rona wajahku memerah. Aku malu sekali ibu berbicara seperti itu. Tidak lama kemudian HP ku bordering lagi namun kali ini panggilan. Ya Tuhan, Evan menelponku. Bagaimana ini? Aku panik sendiri.
“Siapa?” Tanya Ibu lagi padaku.
“Evan Bu” Jawabku dengan ekspresi agak sedikit tak enak.
“Ya sudah, angkat saja. Orang menelpon kok gak di angkat” Saran Ibu padaku. Ibu berlalu meninggalkanku. Aku pun menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali dan akhirnya aku mengangkat telpon darinya.
“Assalamu’alaikum…” Ucapku padanya.
“Wa’alaikumsalam. Bagaimana? Mau aku jemput?” Balas suara dari HP ku. Ini adalah kali pertama aku mendengar suaranya. Memang ada sedikit rasa grogi. Masih mendengar suaranya saja aku sudah seperti ini, bagaimana lagi jika aku bertemu dengannya? Aku membatin.
“Ya, boleh.” Jawabku.
“Baiklah, 5 menit lagi aku sampai. Tunggu di depan ya.” Katanya.
“Iya.” Jawabku seadanya. Aku menutup telpon dan kembali menarik nafas. Aduh, aku kok jadi grogi seperti ini sih. Inikan bukan kali pertama aku kenal dengan laki-laki. Aku melihat jam sambil sekali-kali memainkan kakiku. Tak lama terdengar suara motor dari ujung tikungan jalan. Itu pasti dia pikirku. Benar, itu Evan. Dia memutar arah motornya dan berhenti di depanku. Tanpa berbicara aku naik di belakangnya tanpa menyentuhnya. Tanganku memegang pinggiran bangku motornya. Ini adalah kebiasaanku jika boncengan dengan laki-laki asing, tidak suka menyentuh-nyentuh. Heheee
            Disepanjang jalan aku dan dia terus membisu tanpa kata. Entah apa yang ada dibenaknya waktu itu. Bisa jadi sama dengan yang aku rasakan. Inikah yang dinamakan dengan cinta? Tetapi kan, Evan belum mengatakan perasaannya kepadaku. Aku baru tau kalau dia menyukaiku dari Sari, perempuan yang sore itu datang kerumah mewakili dia menyampaikan rasa sukanya kepadaku.
“Mau diantar kemana? Langsung kesekolah atau kerumah teman?” tanyanya. Memang rumah Upik ada di depan kosnya. Selama ini dia tau kalau aku sering duduk menunggu Upik. Aku tak tau sejak kapan dia melihatku dan sejak kapan dia menyukaiku. Jadi selama ini dia sering melihat aku makan, aku tertawa aku berbicara. Wah, seperti di sinetron-sinetron saja, sweet sekali. Aku jadi malu sendiri. Jadi selama ini ada yang diam-diam memperhatikanku. Ya, kita memang sering tidak sadar jika ternyata ada yang suka memperhatikan kita. Namun sayangnya kebanyakkan orang tak menyadari dirinya diperhatikan, kurang peka karena dia terlalu sibuk memperhatikan orang yang sama sekali tak memperhatikannya.
“Di situ aja.” Aku menunjuk rumah Upik. Evan menghentikan motornya di depan rumah Upik.
“Aku jalan duluan ya.” Katanya saat akan meninggalkanku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Tak lama dia sudah hilang dari pandanganku. Upik keluar dari rumahnya. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju sekolah yang tinggal beberapa langkah lagi.
“Itu siapa?” Tanya Upik memulai perbincangan kami dijalan menuju SD.
“Itu teman baruku, namanya Evan.” Jawabku sambil melempar senyum padanya.
“Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana ya ?” Upik mencoba mengingat.
“Dia tinggal didepan rumahmu.” Jelasku.
“Wah, pantes wajahnya tidak asing.” Tambahnya.
            Aku dan Upik terus berjalan menuju SD yang tinggal beberapa meter lagi. Dari arah gerbang sudah tampak anak-anak yang akan berbaris untuk senam pagi. Hari ini aku mengajar di kelas 4. Kelas dimana anak nakal bernama Fandi itu belajar. Aku langsung membayangkan hari ini apa yang akan di lakukannya untuk membuat kericuhan didalam kelas.
            Kami sudah sampai di sekolah dan langsung meletakkan tas diruang guru. Upik. Aku segera berbaur dengan anak-anak. Merapikan barisan mereka agar terlihat lebih tertib. Namun ada beberapa orang anak yang terkadang jahil suka mendorong temannya hingga hampir jatuh. Aku hanya bisa menggelang-gelengkan kepala melihatnya lalu mencegahnya agar tidak mengulanginya lagi.

Bersambung ke season berikutnya....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar