Cuaca panas kian menggila. Yang terbiasa
mengeluarkan darah dari hidungnya pasti sangat menderita, untung saja aku tidak
memiliki riwayat mimisan, jika ada pasti sangat merepotkan dengan profesiku
saat ini sebagai guru. Cuaca panas ini juga pernah membuatku panik ketika aku
saat itu sedang mengajar di ruang kelas 1. Seorang anak mimisan dan darahnya
banyak sekali mewarnai seragam dinasku. Aku langsung menggotongnya ke ruang
guru untuk memberika pertolongan pertama agar darahnya berhenti.
Hari
ini cuaca masih sama seperti kemarin. Awan seakan enggan berdiri diatas langit
kota Sinabang. Debu-debu dijalanan berterbangan membawa wabah penyakit. Bagi
penduduk yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah akan cepat jatuh sakit. Ya,
aku salah satunya. Hari ini aku absen untuk mengajar di sekolah. Aku demam dan
kepalaku terasa pusing. Seharian aku di kamar dan untuk turun saja aku tak
sanggup. Untung ada Ibu yang dengan setianya membawakanku makan pagi dan makan
siang.
Bosan
tak tahu berbuat apa. Aku membolak balik sebuah buku. Buku harianku ketika aku
masih berada di bangku SMA dulu. Waktu masih SMA aku pernah mengikuti kegiatan
paskibraka, dan yang sangat terkesan adalah aku jatuh cinta kepada kakak
pelatihku yang tidak lain adalah temanku sendiri. Namanya Rangga. Setelah aku
pindah ke Sinabang, aku dan dia sudah tak pernah lagi saling berkomunikasi. Aku
tau, dia tidak menyukaiku. Tetapi yang namanya orang yang tengah di landa cinta
apapun pasti tak di pedulikan. Terkadang benar, cinta itu hadir karena
kebersamaan. Sering bertemu dan bertatap muka, atau berkomunikasi. Dan cinta
juga akan mati karena pengabaian. Seperti kami yang tatkala itu sering bertemu
dalam satu kegiatan yang sama. Hanya saja bedanya, dia adalah pelatih dan aku
yang dilatihnya.
Buku
harian warna kuning tua yang masih wangi dan rapi. Aku sering berniat akan
membuangnya karena kisahku dengannya sudah lama ingin aku akhiri. Lagipula, tak
ada artinya terus menyimpan sesuatu yang hanya membuat kita terus larut dalam
masalalu kita. Jika kita ingin melupakan seseorang bukankah kita harus
menghindari hal-hal yang bisa membuat kita mengingatnya?. Terkadang aku merasa
bahwa cinta itu seperti rantai makanan yang ada di dalam buku IPA SMP, dimana
tikus dimakan ular dan ular dimakan oleh elang. Aku merasa cintaku seperti
rantai makanan, dimana aku mencintai seseorang namun aku dicintai oleh
seseorang. Bukankah setiap manusia diciptakan Tuhan dengan pasangan
masing-masing yang tidak akan pernah tertukar ataupun salah cipta?. Tentu.
Aku
juga pernah memiliki penggemar rahasia, namanya aku tak tahu. Namun aku
menyebutnya Satria. Satria adalah sosok misterius yang pernah hadir dihidupku 2
tahun yang lalu. Lewat via sms dan telpon, dia slalu ada disaat aku butuhkan.
Aku bahkan sering mendapat hadiah darinya. Dia pernah meletakkan sebuah novel
dibelakang rumahku dulu ketika aku masih tinggal di Takengon tepat jam 12
malam.
Aku
sempat berpikir, apa mungkin Satria ini adalah hantu atau juga siluman yang telah jatuh cinta
padaku. Konyol, tapi dia memang
benar-benar mistik sekali. Sayang, kami harus putus komunikasi karna waktu itu
telpon genggamku hilang saat aku dan teman-teman pergi nonton pacuan kuda.
Namun aku sudah cukup bahagia, meskipun tak pernah melihat wajahnya seperti
apa. Hadiah-hadiah darinya adalah perwakilan dari wajahnya. Dia sahabat terbaik
yang pernah aku temui selama ini. Tulus, dan tak pernah meminta hubungan kami
berubah. Sahabat ya sahabat, jangan di hancurkan dengan kata cinta dari salah
seorangnya.
Adzan
Ashar berkumandang merdu. Aku berusaha untuk bangkit meskipun tubuhku masih
terasa lesu sekali. Kepala seperti orang vertigo. Sendi-sendi badanku terasa
nyeri dan letih. Wajar saja, ternyata profesi menjadi seorang guru itu tidak
semudah yang selama ini aku bayangkan selama ini. Kadang jika aku teringat akan
kenakalanku ketika di SMP kepada guru-guru aku sering merasa berdosa karena
sekarang aku merasakan sulitnya menjadi seorang pendidik. Wajar jika guru itu
disebut pahlawan tanpa tanda jasa.
Aku
sudah selesai sholat. Berdoa sesaat dan dzikir. Aku sangat bersyukur atas hidup
yang telah Tuhan berikan kepadaku. Aku jauh lebih beruntung dari mereka yang
sekarang bahkan untuk tempat berteduh saja tidak punya. Teringat ketika aku
dibawa oleh saudara Ibu ke Ibu kota Negara ini. Jakarta. Ya, sebuah kota yang sangat
padat oleh orang-orang yang berjuang untuk hidup mereka. Waktu itu, aku
berangkat dari Bekasi ke pusat perbelanjaan naik kereta. Aku melihat
disepanjang rel kereta ada banyak sekali orang-orang yang tidur dengan pakaian
yang sangat kumal. Anak-anak yang menjadi pengamen hingga mereka tak peduli
lagi akan pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan. Ya, yang aku tau fakir
miskin dan anak terlantar itu dipelihara oleh Negara. Namun apakah yang kulihat
saat itu sesuai dengan apa yang tertulis? Entahlah. Hidup terkadang terlihat
kejam dan itu yang ku rasakan selama berada di Ibu kota negri ini. Sayang,
tingginya gedung-gedung di sana menyamai tingginya angka kemiskinan di negri
ini.
“Tok..tok…tok..” Tiba-tiba aku
dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamarku. Aku yang masih duduk di atas
sajadah mengakhiri doaku.
“Siapa?” Tanyaku heran. Kalau Ibu
biasanya langsung memanggil ku.
“ Saya Sari ” Jawab seseorang yang ada
di balik pintu. Aku tidak memiliki seorang teman yang bernama Sari. Siapa dia?
Dan mengapa sore-sore seperti ini dia mencari ku. Aku terus bertanya-tanya
sendiri keheranan. Aku pun membuka pintu kamar. Seorang wanita kira-kira
seusiaku berdiri sambil memberikan senyum kepadaku. Dia memakai baju kaos
berwarna hijau muda dan rok hitam serta kerudung hitam. Dia mengulurkan
tangannya.
“Saya Sari. Ibu Elvi kan ?” Tanyanya
seraya mengulurkan tangannya tanda berkenalan. Aku menyambutnya dengan membalas
tersenyum padanya.
“Iya, saya Elvi. Maaf, kamu siapa ya?
Dan ada apa mencari saya?” Tanyaku. Aku mempertsilahkan dia untuk masuk
kekamar. Meskipun agak sedikit aneh karena ini kali yang pertama aku membawa
masuk orang asing ke dalam kamarku. Kami duduk di atas tempat tidur.
“Begini kak, aku ke sini karena disuruh oleh seseorang.
Dia selalu memperhatikan Ibu setiap kali Ibu melewati rumahnya ketika Ibu pergi
ke sekolah untuk mengajar. Nah, karena dia belum berani untuk datang sendiri,
dia menyuruhku untuk menemui Ibu.” Anak itu menjelaskan maksud kedatangannya.
Aku
tertawa geli mendengarkan apa yang dikatakan anak gadis ini. Sungguh lucu, baru
kali ini aku menemui seseorang yang begitu merasakan jatuh cinta, sampai-sampai
tidak mau menunggu esok pagi. Ya, orang sedang dilanda cinta memang seprti itu.
Bahkan langit yang mendung dilihat cerah. Badai dan petirpun akan di hadapi
demi si pujaan hatinya.Geli.
“Kak, boleh gak saya tau nomor kontak Ibu?”Anak yang bernama Sari itu mengiba.
“Untuk apa?” Aku merasa sedikit berat
untuk memberikannya.
“Tadi dia mengatakan untuk meminta nomor
kontak Ibu. Please kak. Kalau Kakak
tidak memberikannya saya bisa-bisa di pecat oleh bang Evan.” Sari memohon.
Hah
, apa hubungannya aku tidak memberi nomor kontakku dengan dia dipecat? Pikirku.
Wanita yang satu ini semakin membuatku bingung. Apa lagi itu, si Evan, siapa
sih dia? Mengapa dia bisa menyukaiku? Dengan badan yang masih belum fit aku
merasa kepalaku semakin pusing karena kebingungan dan sekarang seorang wanita
bernama Sari yang juga baru aku kenal memohon-mohon meminta nomor kontakku. Ada
apa ini sebenarnya?
Akhirnya
setelah meminta penjelasannya, Saripun menceritakan semuanya. Tenyata Sari
bekerja di tempat penjualan pulsa milik Evan yang ada di jalan yang sering aku
lewati saat akan ke SD tempat aku mengajar. Evan sering melihatku saat dia akan
berangkat ke kantor. Dia bekerja di salah satu instansi pemerintah yang ada di
kota Sinabang ini. Evan menyukaiku namun tidak memiliki nyali untuk mengatakan
sendiri dan akhirnya dia menyuruh Sari salah satu pegawai di konternya untuk
menemuiku dan menyuruhnya meminta nomor kontakku, jika tidak berhasil maka Sari
akan di pecat.
Aku
tak yakin dengan ancaman itu, bisa saja itu ide Sari sendiri agar aku mau
memberikan nomor kontakku kepada Evan. Namun setelah ku pikir-pikir, ya
sudahlah, tak ada salahnya juga untuk memberikannya. Akhirnya akupun memberikan
nomor kontakku kepada Sari. Sari sangat senang karena usahanya berhasil. Aku
mulai berpikir bahwa dia itu seperti mak comblang seperti di televisi, suka
sekali menjodoh-jodohkan orang. Dasar kurang kerjaan.
Setelah
mendapatkan nomor kontakku dia pun berpamitan untuk pulang karena sebentar lagi
adzan maghrib juga akan berkumandang.
“Kamu naik apa tadi kesini ? Jalan
kaki?” Tanyaku padanya ketika kami sudah mau berpisah. Memang daerah tempat dia
bekerja dengan warungku tidak begitu jauh, aku saja jalan kaki kalau akan
mengajar.
“Gak
Kak, saya ke sini dengan bang Evan.” Jawabnya sambil senyum-senyum.
“Hah, Evan di sini. Loh, kenapa bukan
dia saja yang langsung menemui aku? Dia sekarang nunggu dimana?” Aku terkejut
saat tau Evan datang bersama Sari.
“Dia ada dibawah Kak. Belum berani
menemui Kakak katanya” Sari menjawab sambil tertawa pelan.
“Wah, itu namanya laki-laki yang gak
gantle Sari.hehe..” Akupun jadi tertawa.
Sari
berpamitan pulang sambil terus mengucapkan terimakasih berkali-kali. Dia
kelihatan sangat bahagia karena berhasil menemuiku dan mendapatkan nomor
kontakku. Sangat aneh, seperti di FTV-FTV yang ada di televisi saja. Semua
seakan sudah di skenari dengan rapi dan baik. Memang terkadang ada banyak ke
aneh dalam hidup ini. Yang tak pernah kita bayangkan bisa terjadi kapan pun.
Tak
lama dari kepulangan Sari. Hand Phone ku berdering. Ada pesan masuk.
Boleh kenalan gak? ( Isi dari pesan
itu). Aku sudah menduga bahwa itu adalah Evan. Lelaki yang mengirimkan Sari
untuk menemuiku tadi. Waw, begitu cepatnya dia menghubungiku. Aku tidak
langsung membalasnya. Aku duduk di tepi tempat tidur sambil memainkan HP ku.
Aku teringat akan doa yang tadi kupanjatkan usai aku sholat Ashar. Aku meminta
kepada Tuhan agar di pertemukan dengan seseorang yang mencintaiku apa adanya,
menerima keadaan keluargaku. Apakah ini jawaban dari doaku tadi? Mengapa begitu
cepat Tuhan mengijabahnya? Ada rahasia apa dibalik kejadian ini hanya Allah
yang tahu. Ya, hanya Allah yang mengerti.
Adzan
maghrib berkumandang. Aku membalas smsnya.
“Assalamu’alaikum. Iya boleh, tapi ini
sudah maghrib. Sholat dulu ya.”
Dia membalas
“Wa’alaikumsalam. Iya J”
Aku
bangkit keluar kamar untuk wudhu di bawah. Warung ayah juga sudah tutup tetapi
masih ada satu dua orang yang masih makan di dalam warung. Aku langsung
berwudhu dan kembali ke kamar untuk sholat. Selesai sholat aku sempatkan untuk
membaca Al-Qur’an agar tubuh lebih terasa segar. Aku berharap besok sudah
sembuh karena aku harus kembali mengajar. Anak-anak didikku pasti sudah
menungguku. Namun tidak lama saat aku membaca Al-Qur’an, telpon genggamku
kembali berdering. Aku sudah menduga jika itu pasti lelaki yang bernama Evan
tadi. Ternyata dia benar-benar ingin tau tentang aku.
Aku
terus membaca Al-Qur’an hingga selesai baru setelah itu aku membuka pesan yang
ada di HP. Benar, pesan itu dari Evan. Dia mengatakan di dalam pesan singkat
itu jika dia ingin berkenalan denganku. Ya, bagiku itu tidak masalah, selama
masih dalam batas sewajarnya. Mungki saja dia ingin berteman. Akhirnya, kami
jadi sering berbalas-balas pesan. Yang dibahas juga seputar hal-hal yang
biasa-biasa saja layaknya seorang teman, tak ada yang istimewa. Ya, memang tak
ada.
Malam
mulai mencekam, kota Sinabang perlahan mulai menyepi. Suara-suara kendaraan
yang biasanya lalu lalang sudah hampir tak terdengar lagi, hanya sesekali saja
terdengar orang yang melintasi jalan di depan warungku. Ayah sudah
members-bereskan warung. Jam juga sudah menunjukkan pukul 11 malam. Biasanya
ayah menutup warung jam 12, kali ini karena dagangannya cepat habis jadi ayah
sedikit lebih cepat menutup warungnya dibandingkan hari-hari biasanya.
Meskipun
terbilang baru, tetapi warung mie Aceh kami adalah warung mie yang terlaris
saat itu. Ada orang-orang yang hamper setiap malam membeli mie Aceh buatan
kami. Meskipun warung mie Aceh di Sinabang bukan hanya warung kami. Bahkan
pembeli dari luar kota juga banyak seprti dari Aceh Barat dan Medan. Banyakkan
saja, demi menikmati mie buatan kami, rela membayar ongkos kapal dan mobil.
Sebenarnya
ayah adalah seorang pegawai negri. Tetapi meskipun seorang pegawai, hidup kami
tak pernah berkecukupan. Aku tak tahu mengapa bisa seperti itu. Sering aku
merasa bahwa keberkahan keluarga kami seakan tak pernah ada. Memang, sejak aku
dan saudara-saudaraku masih kecil-kecil. Ayah dan Ibu itu sering sekali
bertengkar. Hal-hal sepele yang sebenarnya lebih pantas untuk menjadi lelucon
pun kerap kali menjadi ribut besar. Aku bahkan sering bertanya-tanya, apakah
mungkin tak pernah ada cinta diantara mereka ? Entahlah.
Malam
ini aku tidak bisa menolong Ibu dan Ayah karena kondisi tubuhku yang masih
demam. Mataku sudah mulai mengantuk usai sholat isya. Rasanya begitu sampai di
tempat tidur aku akan langsung terlelap. Tetapi aku sempat melihat telpon
genggamku. Ada 3 pesan dan itu semua dari Evan. Lelaki ini, rajin sekali
menghubungiku. Aku jadi penasaran dengan wajahnya. Seperti apa dia? Aku kini
mulai jadi membayangkannya. Ya, dia. Evan.
Lelaki yang hadir ketika aku berdoa kepada Allah agar dipertemukan
dengan seseorang yang bisa menyayangiku apa adanya. Benarkan dia adalah jawaban
dari doaku itu?.
“Slamat tidur ya?” Ucapnya di pesan
“Iya” Balasku.
“Besok aku jemput boleh tidak?”
Tawarnya.
Aku sangat terkejut dengan tawarannya.
Entah mengapa jantungku berdegup kencang sekali. Aku bingung harus menjawab
apa. Baru kali ini aku di jemput oleh lelaki. Tanpa pikir panjang akupun
menerima tawarannya. Ada perasaan senang juga malu-malu saat akan menerima
tawarannya. Bagaimana ya besok ketika aku melihat wajahnya untuk yang pertama
kalinya? Ah, jantungku tiba-tiba berdegup kenjang. Dan akupun tertidur dalam
keadaan hati penuh rasa penasaran.
Pagi ini cuaca
sejuk sekali. Burung-burung seakan-akan ikut bernyanyi mengiringi bahagia
hatiku saat ini. Aku sudah membaik. Tubuhku sudah tidak lagi panas dan kepalaku
tak lagi terasa pusing. Pagi ini aku memutuskan untuk masuk mengajar di SD.
Justru jika aku terus berada di rumah bisa-bisa aku semakin sakit karena
berdiam diri terus di dadalam kamar.
Matarhari
menyinari kota Sinabang ini seperti biasa. Tampaknya musim kemarau sangat betah
berdiam di kota yang di sebut orang-orang adalah pulau hantu. Tak tau sejak
kapan julukan itu diberikan kepada tanah kelahiranku ini. Ya, aku memang lahir
di sini, namun ketika usiaku masih 4 tahun aku dibawa oleh ayah dan ibu ke
Takengon karena ayah harus pindah kerja kala itu. Pulau ini sering ada orang
bunuh diri dan dulu masih banyak pesugihan atau perdukunan, karena itu sering
ada penampakkan di malam hari. Barangkali, ini yang menyebabkan pulau ini
disebut pulau hantu oleh para pendatang dari luar pulau.
Aku sudah siap,
tinggal melangkah menuju sekolah. Anak-anak pasti sudah sangat merindukanku.
Aku tau itu dari Upik teman satu tempat aku bekerja. Katanya anak-anak banyak yang bertanya aku ada kemana.
Bahkan ada yang bilang aku sudah tidak mau mengajar lagi karena mereka sering
nakal. Aku hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan mereka yang di sampaikan
oleh Upik. Ya, aku memang sangat dekat dengan semua anak-anak didikku, bahkan
aku tidak tahu bagaimana kelak jika suatu saat aku berhenti berkerja karena
honorku sudah habis tempo? Karena itu aku ingin memberikan yang terbaik kepada
mereka. Khususnya kepada anak-anak kelas 6.
Diantara mereka ada yang sudah 2 kali tinggal kelas karena tidak lulus ujian
akhir nasional atau UAN dan aku mau kali ini aku mau membuat anak itu harus
lulus. Apalagi, aku adalah guru yang dipilih oleh kepala sekolah untuk mengajar
mata kuliah yang akan di UAN kan saat pulang sekolah atau les sore.
Aku mengajar les
sore khusus bagi kelas 5 dan 6. Namun, yang sangat di utamakan adalah anak-anak
kelas 6 karena mereka yang akan mengikuti UAN. Meskipun gaji mengajar di luar
jadwal sekolah tidak besar, namun aku sangat bahagia bisa di percayai oleh
kepala sekolah untuk mengajarkan mereka mata pelajaran yang akan di UAN kan.
Ada beberapa mata kuliah yang menjadi bagianku, seperti bahasa Indonesia, ilmu
pengetahuan alam (IPA) dan bahasa inggris. Kalau matematika ada guru khusus
yaitu Pak Yadi. Awalnya aku juga tidak memegang mata pelajaran bahasa inggris,
namun karena guru yang bersangkutan sudah mengundurkan diri akhirnya kepala
sekolah menyuruhku untuk menggantikan sementara sambil menunggu penggantinya.
Aku sudah berada
di depan warung. Tiba-tiba telepo genggamku bordering. Ada pesan. Aku sedikit
terkejut, ternyata itu dari Evan.
“Assalamu’alaikum Ibu guru. Sedang lagi
mau ke sekolah ya ?. Aku jemput ya?” sapanya kepadaku. Aku bingung mau menjawab
apa. Tapi baru kali ini ada seorang lelaki yang mau menjemputku kerumah.
Biasanya, hanya berani mengajak ketemuan di suatu tempat. Aku masih mengenggam
HP ku, bingung harus menjawab apa. Tiba-tiba Ibu mengejutkanku dengan suara
pintu warung yang diseretnya.
“Belum pergi? Tanya Ibu padaku.
“Belum Bu, ada yang menawarkan mau
mengantarkanku kesekolah.” Jawabku agak takut-takut. Aku memang sudah
menceritakan tentang Evan kepada Ibu waktu ibu melihat keadaanku malam itu.
Namun rasanya masih sangat canggung. Jujur, ini adalah kali pertama aku
didatangi oleh lelaki seperti ini. Apa ini ya yang dinamakan dengan cinta
pertama. Apakah begini rasanya? Aku memang sering jatuh cinta di waktu SMA,
namun ini aku rasakan sangat berbeda dari yang pernah aku alami. Mungkin karena
sekarang aku bukan lagi anak SMA jadi suasannya berbeda. Ah, entahlah.
“Di jemput siapa? Laki-laki yang semalam
kamu ceritakan ya?” Ibuku menebak. Sontak rona wajahku memerah. Aku malu sekali
ibu berbicara seperti itu. Tidak lama kemudian HP ku bordering lagi namun kali
ini panggilan. Ya Tuhan, Evan menelponku. Bagaimana ini? Aku panik sendiri.
“Siapa?” Tanya Ibu lagi padaku.
“Evan Bu” Jawabku dengan ekspresi agak
sedikit tak enak.
“Ya sudah, angkat saja. Orang menelpon
kok gak di angkat” Saran Ibu padaku. Ibu berlalu meninggalkanku. Aku pun
menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali dan akhirnya aku mengangkat
telpon darinya.
“Assalamu’alaikum…” Ucapku padanya.
“Wa’alaikumsalam. Bagaimana? Mau aku
jemput?” Balas suara dari HP ku. Ini adalah kali pertama aku mendengar
suaranya. Memang ada sedikit rasa grogi. Masih mendengar suaranya saja aku
sudah seperti ini, bagaimana lagi jika aku bertemu dengannya? Aku membatin.
“Ya, boleh.” Jawabku.
“Baiklah, 5 menit lagi aku sampai.
Tunggu di depan ya.” Katanya.
“Iya.” Jawabku seadanya. Aku menutup
telpon dan kembali menarik nafas. Aduh, aku kok jadi grogi seperti ini sih.
Inikan bukan kali pertama aku kenal dengan laki-laki. Aku melihat jam sambil
sekali-kali memainkan kakiku. Tak lama terdengar suara motor dari ujung
tikungan jalan. Itu pasti dia pikirku. Benar, itu Evan. Dia memutar arah
motornya dan berhenti di depanku. Tanpa berbicara aku naik di belakangnya tanpa
menyentuhnya. Tanganku memegang pinggiran bangku motornya. Ini adalah
kebiasaanku jika boncengan dengan laki-laki asing, tidak suka
menyentuh-nyentuh. Heheee
Disepanjang
jalan aku dan dia terus membisu tanpa kata. Entah apa yang ada dibenaknya waktu
itu. Bisa jadi sama dengan yang aku rasakan. Inikah yang dinamakan dengan
cinta? Tetapi kan, Evan belum mengatakan perasaannya kepadaku. Aku baru tau
kalau dia menyukaiku dari Sari, perempuan yang sore itu datang kerumah mewakili
dia menyampaikan rasa sukanya kepadaku.
“Mau diantar kemana? Langsung kesekolah
atau kerumah teman?” tanyanya. Memang rumah Upik ada di depan kosnya. Selama
ini dia tau kalau aku sering duduk menunggu Upik. Aku tak tau sejak kapan dia
melihatku dan sejak kapan dia menyukaiku. Jadi selama ini dia sering melihat
aku makan, aku tertawa aku berbicara. Wah, seperti di sinetron-sinetron saja,
sweet sekali. Aku jadi malu sendiri. Jadi selama ini ada yang diam-diam memperhatikanku.
Ya, kita memang sering tidak sadar jika ternyata ada yang suka memperhatikan
kita. Namun sayangnya kebanyakkan orang tak menyadari dirinya diperhatikan,
kurang peka karena dia terlalu sibuk memperhatikan orang yang sama sekali tak
memperhatikannya.
“Di situ aja.” Aku menunjuk rumah Upik.
Evan menghentikan motornya di depan rumah Upik.
“Aku jalan duluan ya.” Katanya saat akan
meninggalkanku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Tak lama dia sudah hilang dari
pandanganku. Upik keluar dari rumahnya. Aku pun melanjutkan perjalanan menuju
sekolah yang tinggal beberapa langkah lagi.
“Itu siapa?” Tanya Upik memulai
perbincangan kami dijalan menuju SD.
“Itu teman baruku, namanya Evan.”
Jawabku sambil melempar senyum padanya.
“Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi
dimana ya ?” Upik mencoba mengingat.
“Dia tinggal didepan rumahmu.” Jelasku.
“Wah, pantes wajahnya tidak asing.”
Tambahnya.
Aku
dan Upik terus berjalan menuju SD yang tinggal beberapa meter lagi. Dari arah
gerbang sudah tampak anak-anak yang akan berbaris untuk senam pagi. Hari ini
aku mengajar di kelas 4. Kelas dimana anak nakal bernama Fandi itu belajar. Aku
langsung membayangkan hari ini apa yang akan di lakukannya untuk membuat
kericuhan didalam kelas.
Kami
sudah sampai di sekolah dan langsung meletakkan tas diruang guru. Upik. Aku
segera berbaur dengan anak-anak. Merapikan barisan mereka agar terlihat lebih
tertib. Namun ada beberapa orang anak yang terkadang jahil suka mendorong
temannya hingga hampir jatuh. Aku hanya bisa menggelang-gelengkan kepala
melihatnya lalu mencegahnya agar tidak mengulanginya lagi.
Bersambung ke season berikutnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar