10.5.14

Aku Memilih Setia


Hujaan turun begitu deras.Aku masih duduk ditepi jendela kamarku menatap orang-orang yang lalu lalang dijalan. Ada yang berjalan kaki, ada juga yang menggunakan kendaraan. Toko-toko juga sepi dari pengunjung. Jalanan tergenang air dan bunga-bunga terlihat bahagia dengan cuaca yang dingin ini. Namun tidak dengan diriku. Tidak, sebenarnya aku tak tahu aku harus bahagia atau tidak. Satu bulan lagi aku akan menikah dengan seorang pria yang baru kukenal. Kami bertemu di sebuah toko buku saat aku ingin membeli sebuah Novel terbaru yang ternyata juga adalah novel yang sedang dicarinya. Lucu, karena kami sempat bertengkar berebut Novel layaknya anak kecil yang tengah berebut permen. Ya, memang seharusnya tak seperti itu.

Karena tak ada yang mengalah, akhirnya aku menghampiri pemilik toko dan menanyakan apakah masih ada stok lain dari novel itu.

"Maaf mba, untuk Novel yang ini tinggal satu." Jelas pemilik toko.

Lelaki yang berebut buku denganku bersikeras dengan apa kemauannya berdiri disampingku dan meletakkan novel itu didepan meja kasir. Dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu Rupiah. Setelah mengambil kembalian dia pun berlalu. Namun aneh, dia tak membawa novel yang baru dibelinya. Aku heran, pemilik toko juga heran. Aku mengambil buku itu dan mengejarnya keluar.

"Eh mas,,,tunggu." Aku sedikit berteriak.

Laki-laki itu tak mendengarnya. Ia terus berjalan menuju sebuah mobil yang diparkir didepan toko. Aku terus memanggilnya. Celaka dia sudah masuk ke dalam mobil. Aku berlari dan menghadang mobilnya. Mobil mendadak direm. Aku menghampirinya dan dia membuka jendela mobilnya.

"Mas, bukunya ketinggalan." Aku menunjukkan buku itu.

Laki-laki itu membuka kacamatanya. Jujur saat itu aku menerka nerka tentang pekerjaannya. Lelaki itu berpenampilan sangat elegan dengan kemeja putih,dasi abu-abu dan celana kain hitam pria ini terlihat sangat rapi. Barangkali dia bekerja dikantor, atau dia seorang pengusaha hebat. Ah entahlah, siapapun dia aku hanya ingin mengembalikan bukunya kala itu.

"Kamu tadi juga mau buku itu kan ? "Tanyanya padaku sembari melempar sedikit senyuman.

Aku masih terheran heran. Bukankah tadi dia juga begitu ngototnya ingin memiliki novel ini. Aku membatin.

" Iya, saya memang tadi juga mencari novel ini. Tapikan,mas yang duluan. Sekarang kok novelnya ditinggal. Dengar ya mas, mas mungkin memang punya segalanya, tapi mas gak boleh memperlakukan novel ini dengan sesuka hati mas. Sesudah mas membelinya, mendapatkannya lantas mas tinggalkan begitu saja. Jahat sekali mas. Kalau mas memang tak berniat untuk memilikinya, baiknya..mas jangan membelinya. Masih ada orang lain yang masih mau dan mampu untuk membelinya mas." Aku ngomel-ngomel.

Laki-laki itu tertawa lepas sesaat. Aku semakin kesal dibuatnya. Apa sih yang diinginkan oleh lelaki ini. Saat itu yang ada dipikiranku, pasti ini orang playboy, kalau bukan pastinya seorang bajingan kelas hiu, atau bisa jadi mafia wanita dan penjahat kelamin.

"Dengar ya mba,apakah kita harus memiliki sesuatu padahal kita tahu ada yang lebih bahagia jika kita memberikannya kepadanya. Terkadang apa yang kita mau mba, gak selamanya harus kita dapatkan. Di hidup ini semua ada tingkatannya. Begitu juga dengan keinginan. Ada yang ingin, ingin sekali, sangat ingin sekali. Dan keinginan saya terhadap buku ini hanya sebatas 'ingin' sedangkan mba, 'itu sangat ingin sekali'. Buku ini untuk kamu. "Jelas lelaki itu.

Dia kembali masuk ke dalam mobilnya. Aku menyingkir dari jalan. Masih tertegun dengan apa yang baru aku dengar darinya. Iya, selama ini aku selalu memaksa apa yang aku inginkan semua harus aku miliki.Bijak sekali lelaki itu. Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suamiku setelah beberap kali kami bertemu ditempat yang sama. Ternyata benar, cinta memang bisa hadir karena sering bertemu,bersama dan bercanda.

Masih terekam di dalam ingatanku,saat lelaki yang kukenal di toko buku yang ternyata bernama Angga dan seorang pengusaha muda itu menyatakan keinginannya untuk menikah denganku. Dengan sebuah cincin emas putih, dia mengutarakan apa yang dia inginkan.

"Put,apakah kamu mau menikah denganku?" Tanyanya dengan nada suara yang sedikit bergetar.

Aku terpaku membisu. Jujur,aku masih belum mengerti dengan apa yang aku rasakan. Sebelum aku bertemu dengan Angga aku terlebih dahulu sudah menaruh hatiku pada pria lain. Pria yang dulu juga sempat meminangku namun justru mengkhianatiku. Tetapi,memang benar cinta terkadang membuat kita buta. Aku masih saja mencintai laki-laki yang jelas-jelas tak menginginkanku lagi.
"Apa tingkat keinginan mas ? 'Ingin', 'ingin sekali', atau 'sangat ingin sekali'?" Aku membuat lelucon.

"Di atas 'sangat ingin sekali'" Angga menjawab dengan tegas.

Aku tersenyum dan tanpa aku sadari airmataku menetes jatuh dipipi. Aku terharu. Baru kali ini aku menemukan pemuda seperti dia.

"Mengapa harus aku mas? Mas itu laki-laki yang hebat.Mas bisa dapatkan yang lebih dari Putri." Aku merendah.

Angga menarik nafas panjang.
"Put,di dunia ini kita diciptakan bukan hanya mendapatkan bahagia namun juga kita harus membuat bahagia. Mas mau membahagiakan kamu Put. Mas tau semua tentang kehidupanmu.Mas mau kamu lupakan semua kesedihanmu dimasa lalu.ada saatnya kita itu harus bangkit dan bahagia.Bangkit dari keterpurukan dan kepiluan kita selama ini " Angga terus meyakiniku.

Aku tersenyum.

"Bagaimana? Kamu maukan Put?" Tanyanya lagi.

Setelah menghela nafas sesaat, akupun menerimanya. Angga sangat bahagia. Tampaknya Angga memang bersungguh sungguh dan aku tak ingin menyia-nyiakan ketulusan yang telah dia berikan kepadaku.

Hujaan sudah mulai reda. Aku masih duduk di depan jendela kamarku. Jalanan perlahan mulai ramai kembali. Tiba-Tiba Hand Phone ku berdering membangunkanku dari lamunku.

Saat aku melihat kelayar 'No Name' yang artinya nomor yang menghubungiku ini tak ada tersimpan di kontak panggilanku. Siapa ya? Tanyaku membatin. Akupun mengangkatnya.

"Hallo..." Sapaku

"Assalamu'alaikum, apakabar?" Orang yang ada ditelpon balik menyapa.

"Wa'alaikumsalam. Baik. Maaf ini dengan siapa? " Tanyaku penuh rasa ingin tahu.

"Coba tebak,masa sih kamu gak tanda suara aku?" Lelaki yang ada ditelpon balik bertanya."Aku Alan,kamu masih belum lupa kan Put" sambungnya.

Sontak seketika seperti ada petir yang cetar menggetarkan tubuhku. Jantungku berdegup kencang. Hujaan yang tadinya reda seolah kembali turun dengan deras dan kali ini membasahiku hingga aku kedinginan. Tanganku mulai membeku.Alan,laki-laki yang sudah menancapkan luka sangat dalam direlung hatiku. Laki-laki yang pernah meminangku namun justru menghancurkan segenap harapanku kepadanya. Laki-laki pengecut yang tak punya arah hidup yang jelas. Laki-laki yang terus larut dalam masalalunya namun mengharapkan melangkah kemasa depan bersamaku. Seperti mendayung perahu,ingin maju tetapi mendayung justru ditolak kebelakang.

"Oh,kamu Alan. Ada apa menghubungi aku?" Tanyaku dengan intonasi gaya bahasa yang sedikit sinis.

"Kamu kok gitu sih Put? Apa aku sudah tidak boleh lagi tau tentang kamu? Apa kamu udah gak punya perasaan apa-apa lagi sama aku. Aku tau aku salah Put. Aku minta maaf. Aku menyesal Put. Setelah aku jalani hidup selama kita memutuskan untuk berpisah, aku baru sadari bahwa tak ada wanita yang sepertimu lagi. Kamu yang mau menerima aku dan semua kekuranganku Put. Kamu yang bisa sabar menghadapi keegoanku. Kamu juga yang bisa menentramkan hatiku disaat aku tengah gundah dan resah. Apa kamu mau kita melanjutkan hubungan kita Put. Aku janji,tidak akan mengkhianati kamu lagi." Alan memohon padaku.

Aku semakin berdebar-debar dengan apa yang diutarakan Alan dengan begitu gamblang. Jujur, aku memang masih mencintainya, aku sangat menyayanginya. Aku bahkan rela menahan sakit saat mempertahankan hubungan kami. Alan sebenarnya adalah pemuda yang baik, dia taat beribadah dan juga tak pernah mengajak aku untuk sekedar pacaran, sama seperti apa yang dilakukan oleh Angga. Namun masalahnya saat ini adalah,aku sudah bertunangan. Sebulan lagi aku akan menikah dengan pria yang juga sangat mencintaiku.

Aku seperti berada diantara dua arah yang berbeda. Yang satu menyuruhku untuk terus melangkah, yang satunya meminta aku untuk kembali. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan.

"Maafkan aku Alan,beri aku waktu untuk berpikir."Jawabku.

"Baiklah,aku akan menunggu jawaban darimu Put.Aku harap,kamu tidak mengecewakanku."Pinta Alan.

Aku menutup telpon.Tak lama kemudian Bunda memanggilku. Aku keluar kamar dan menemui bunda yang tengah sibuk mengatur kue-kue yang baru dibuat kedalam rak-rak toko. Sejak ayahku meninggal, bunda lah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhanku dan dua orang adikku.

"Tadi Angga telpon bunda,katanya dia telpon-telpon kamu tapi hand phone kamu sibuk terus.Kamu telponan sama siapa sih Put?" Tanya Bunda.

"Ha? Angga telpon aku Bunda ?Bukan siapa-siapa kok bunda.itu...itu.." Aku gugup sendiri.

"Alan ?" Tebak Bunda.

"Loh,kok bunda bisa tau sih?" Tanyakku

Bunda mendekatiku dan duduk disampingku.Bunda mengelus-elus kepalaku.Seperti ada setumpuk harapan yang ingin dia katakan padaku. Sorot matanya membuat aku ingin memeluknya. Bunda memang bisa mengerti apa yang aku rasakan tanpa harus aku katakan.

"Put,dengar ya Nak.Kadang dalam hidup ini tidak semuanya berakhir dengan apa yang kita inginkan,karena dibalik skenario kita, ada skenario Allah yang lebih sempurna. Kita tidak boleh melawan dan protes, karna yang tahu apa yang terbaik untuk kita, hanya Dia." Nasehat Bunda membuat aku sedikit lega. Bunda tau betul apa yang tengah aku rasakan. Aku dilema.

"Makasih ya Bunda."Aku memeluknya.

Bunda kembali kepekerjaannya. Aku juga membantunya dengan menghias beberapa kue. Kini aku tau apa yang harus aku lakukan. Aku sudah mengerti apa yang akan aku akan katakan kepada Alan nanti.

***

Malam menyapa dengan sejuk, sisa dari hujaan sepanjang hari tadi. Langit tak bercahaya karena bintang-bintang tertutup oleh pekatnya gulita mendung.Hanya satu dua bintang saja yang terlihat bersinar,salah satunya pasti bintang Serious. Bintang yang terlihat paling bersinar dari bumi.

Aku mengambil hand phone ku. Kucari nomor Alan yang siang tadi menghubungiku. Dengan menarik nafas panjang, aku menekan tombol memanggil dan,masuk.

"Assalamu'alaikum Putri."Sapanya dengan salaam kepadaku.

"Wa'alaikumsalam Alan. Alan, aku mau menjawab pertanyaan kamu tadi pagi.Aku...Aku sangat menghargai usahamu untuk berubah dan memperbaiki diri lagi. Tapi Lan,aku benar-benar minta maaf..aku tak bermaksud untuk melukaimu,atau tak memberi kesempatan kedua kepadamu. Kadang dalam hidup,kita memang hanya punya 1 kesempatan Lan,dan disaat kita menyia-nyiakannya kita tak punya kesempatan lagi dalam memngulanginya. Begitu juga dengan hubungan kita. Hampir setahu Lan,aku menunggumu dan berharap kamu akan datang kembali,namun tampaknya Tuhan berkata lain. Aku dipertemukan-Nya dengan laki-laki lain yang saat ini sudah menjadi tunanganku. Aku sudah bertunangan Lan. Aku tau, hubungan tunangan memang bisa dibatalkan,tetapi Lan..maafkan aku, aku memilih setia pada tunanganku.Terimakasih kamu sudah berniat untuk kembali kepadaku. Inilah jalan hidup kita Lan..seseorang pernah mengatakan kepadaku,bahwa kita diciptakan bukan hanya untuk menikmati bahagia tetapi juga harus bisa membuat bahagia.Kamu adalah bahagiaku Lan, tetapi aku adalah bahagianya Angga.Calon suamiku. Sebulan lagi kami akan menikah Lan." Jelasku dengan perasaan yang sedikit tertekan.

Ya, inilah saatnya aku mengakhiri semuanya. Aku sudah tau apa yang seharusnya aku lakukan. Meskipun menyiksa batin, tapi aku yakin ini yang terbaik dan sejak komunikasi ditelpon malam itu, aku dan Alan lost contak.

Sebulan kemudian.

Aku duduk didepan cermin. Dengan gaun kebaya silver paduan merah muda dan kerudung yang membalut dikepalaku aku terlihat begitu bahagia. Ya, kini aku tau bahagia itu juga bisa hadir disaat kita membahagiakan orang lain.

Setelah ijan qobul selesai, aku mencium tangan Angga. Semua yang pernah ada dihati luntur oleh sentuhan pertamanya. Kecupan pertama, dan pelukan yang pertama. Ya, semua adalah hal yang pertama dalam hidupku. Kecuali cinta, cinta yg kuberikan kepadanya adalah cinta terakhir.
h

1 komentar: